
Repelita Jakarta - Praktik rangkap jabatan yang membuat puluhan wakil menteri menikmati ‘gaji dobel’ karena merangkap posisi sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara kini mulai digugat ke Mahkamah Konstitusi dan memasuki babak baru yang bisa mengakhiri polemik ini.
Sidang perdana gugatan uji materi digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, pada Kamis, 31 Juli 2025, dengan menghadirkan para pemohon A. Fahrur Rozi dan Ilhan Fariduz Zaman yang memaparkan keresahan mereka di hadapan majelis hakim.
Dalam sidang itu, para aktivis hukum tersebut menjelaskan bahwa setidaknya ada 30 orang wakil menteri aktif yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN, sebuah celah yang dianggap lahir karena kekosongan bunyi Undang-Undang Kementerian Negara.
Para pemohon menyoroti Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara yang secara tegas melarang menteri merangkap jabatan lain, termasuk di BUMN, tetapi tidak menyebut wakil menteri secara gamblang sehingga celah itu kerap dimanfaatkan.
“Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara tidak secara jelas menuliskan frasa wakil menteri, padahal Pasal 27B dan Pasal 56B Undang-Undang BUMN juga longgar sehingga membuka peluang rangkap jabatan,” kata Fahrur Rozi di hadapan hakim.
Mereka meminta Mahkamah Konstitusi menafsirkan ulang bunyi pasal tersebut agar jabatan wakil menteri juga ikut terikat larangan rangkap jabatan, sehingga tidak ada lagi pembenaran bagi wamen menikmati dua sumber gaji dari jabatan berbeda.
Selain itu, para pemohon juga menyoroti perbedaan perlakuan larangan rangkap jabatan di jajaran BUMN, di mana dewan komisaris masih boleh merangkap sebagai pejabat partai, anggota legislatif, atau kepala daerah, sementara dewan direksi dilarang keras.
Mereka mendesak Mahkamah Konstitusi menetapkan standar yang sama untuk semua jabatan strategis di BUMN agar mencegah potensi konflik kepentingan dan praktek-praktek penyelewengan.
Menanggapi permintaan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menekankan agar para pemohon dapat memperkuat argumen mereka dengan menyajikan perbandingan dengan negara lain yang menerapkan sistem presidensial serupa.
“Kalau saudara bilang ini tidak ada jaminan kepastian hukum, saudara harus membangun argumennya sendiri. Buat komparasi dengan negara lain, misalnya,” ujar Enny kepada para pemohon.
Enny juga mengingatkan bahwa Undang-Undang BUMN saat ini sedang dalam tahap uji formil di Mahkamah Konstitusi, sehingga hasilnya berpotensi mempengaruhi jalannya gugatan rangkap jabatan ini.
“Undang-Undang BUMN masih diuji formil, jadi kita tunggu proses itu rampung dulu,” tutup Enny.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

