
Repelita Jakarta - Permasalahan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat menjadi perhatian serius publik.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menyampaikan kritik keras terhadap izin pertambangan di kawasan wisata yang dikenal sebagai 'Surga Terakhir di Bumi'.
Ia menilai bahwa penerapan hukum hanya dijadikan alat pelindung bagi kepentingan penguasa yang tidak bertanggung jawab.
Menurut Bivitri, eksploitasi sumber daya alam di Raja Ampat dilakukan tanpa memperhatikan aspek hukum yang seharusnya melindungi lingkungan dan masyarakat lokal.
Dia menegaskan bahwa pemberian izin tambang tersebut lebih banyak merugikan ketimbang memberikan manfaat bagi rakyat dan kelestarian alam.
Bivitri juga mengingatkan pentingnya pengawasan yang ketat agar tidak ada lagi penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya alam strategis ini.
Kritik ini datang di tengah gencarnya kampanye pelestarian Raja Ampat yang mulai mendapatkan perhatian luas dari berbagai kalangan masyarakat.
Warga dan aktivis lingkungan berharap pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan kerusakan yang terjadi akibat aktivitas tambang nikel.
Ancaman pencemaran dan kerusakan ekosistem di Raja Ampat dianggap dapat berdampak panjang terhadap keberlangsungan wisata dan kehidupan masyarakat setempat.
Polemik ini menjadi panggilan bagi semua pihak agar mengedepankan prinsip keadilan sosial dan kelestarian lingkungan dalam pengambilan keputusan.
Upaya penyelamatan Raja Ampat harus menjadi prioritas demi menjaga warisan alam yang tak ternilai bagi generasi mendatang.
(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

