Repelita Jakarta - Aksi aktivis yang membongkar rapat tertutup revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) di DPR RI akhir pekan lalu menuai respons keras dari Deddy Corbuzier dan sejumlah akun media sosial.
Mereka melabeli aksi tersebut dengan istilah seperti "ilegal," "anarkis," dan "antek asing." Narasi ini justru memicu kecaman publik dan dianggap sebagai upaya untuk membungkam kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Aksi tersebut terjadi di sebuah hotel bintang lima di Jakarta, tempat Komisi I DPR RI dan Kementerian Pertahanan menggelar rapat tertutup. Wakil Koordinator KontraS, Andrie Yunus, bersama dua rekannya dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menerobos masuk ke ruang rapat.
"Selamat sore, Bapak Ibu. Kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menuntut agar pembahasan RUU TNI dihentikan. Ini tidak sesuai dengan proses legislatif! Ini dilakukan secara tertutup!" seru Andrie.
Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, petugas keamanan bergerak cepat dan mendorongnya hingga terjatuh. Meski demikian, Andrie tetap bersikeras menyuarakan protesnya.
"Rapat ini harus dihentikan! RUU TNI ini berbahaya! Ini mengembalikan Dwi Fungsi TNI seperti di era Orde Baru!"
Deddy Corbuzier, Staf Khusus Menteri Pertahanan Bidang Komunikasi Sosial dan Publik, merespons aksi tersebut dengan menyebutnya sebagai tindakan anarkis dan ilegal.
"Bagi kami, gangguan yang terjadi sudah mengarah pada tindak kekerasan anarkis. Ini bukan kritik atau masukan yang membangun, tapi tindakan ilegal dan melanggar hukum," ujar Deddy melalui akun Instagram dc.kemhan.
Tak hanya Deddy, beberapa akun media sosial yang diduga berafiliasi dengan TNI juga ikut menyebarkan narasi negatif terhadap aktivis.
Akun-akun seperti @kodim_1623_karangasem, @kodam.ix.udayana, dan @babinkum.tni mengunggah video yang menuding para aktivis sebagai "antek asing." Narasi dalam video tersebut menyebut bahwa aktivis tidak ingin TNI kuat dan hanya membela kepentingan asing.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menilai narasi-narasi tersebut sebagai upaya untuk menstigma pergerakan masyarakat sipil. "Labeling seperti itu lebih lazim di negara otoriter.
Dalam negara demokrasi, hal semacam ini seharusnya tidak terjadi," kata Jamiluddin. Ia menegaskan bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat dan berekspresi, terutama dalam proses pembuatan undang-undang yang berdampak luas.
Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, menyebut stigma yang disematkan kepada aktivis sebagai pola lama yang kerap digunakan untuk membungkam kritik. "Itu tuduhan-tuduhan basi.
Polanya selalu sama. Kalau bukan PKI, ya, antek asing. Dari dulu begitu saja," ujar Hussein. Ia juga mempertanyakan apakah unggahan video tersebut dibuat atas perintah atasan.
Komika Pandji Pragiwaksono turut menanggapi pernyataan Deddy Corbuzier. Menurutnya, Deddy seharusnya fokus menjawab pertanyaan mendesak terkait RUU TNI, bukan hanya menyoroti aksi penerobosan rapat.
"Kenapa rapat digelar di hotel bintang lima, bukan di gedung DPR? Jika benar hanya membahas tiga pasal, kenapa harus tertutup dan berlangsung berhari-hari?" tanya Pandji.
Netizen pun ramai memberikan tanggapan. Salah satu netizen dengan akun @Rizal99 menulis, "Deddy seharusnya menjelaskan substansi RUU TNI, bukan malah menyerang aktivis." Sementara itu, akun @DianSari berkomentar, "Ini mah pola lama, stigma negatif buat bungkam kritik. Pemerintah harusnya lebih terbuka."
Kasus ini kembali mengingatkan pentingnya transparansi dan dialog terbuka dalam proses legislatif, terutama yang menyangkut kepentingan publik. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok