Repelita, Jakarta, 15 Desember 2024 - Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol bersumpah untuk tidak pernah menyerah setelah para anggota parlemen memilih untuk memakzulkannya. Langkah ini membuatnya terancam pelengseran, usai mengejutkan publik dengan memberlakukan darurat militer secara singkat.
Majelis Nasional Korea Selatan menyetujui RUU pemakzulan dengan 204 suara dari 300 anggota yang hadir, melewati batas dua pertiga yang dibutuhkan untuk memuluskan proses tersebut.
Meskipun terancam berhenti, Yoon menyatakan bahwa perjalanan bersama rakyat selama dua setengah tahun terakhir tidak boleh dihentikan. Pemungutan suara ini adalah upaya kedua untuk memakzulkan Yoon setelah deklarasi darurat militer pada 3 Desember lalu. Langkah darurat militer ini menjadi yang pertama sejak Korea Selatan menjadi negara demokrasi hampir 40 tahun lalu.
Meskipun Yoon membatalkan perintah tersebut hanya enam jam setelah dikeluarkan, tindakan itu memicu ketidakstabilan pasar dan kemarahan di kalangan masyarakat. Publik Korea Selatan turun ke jalan untuk memprotes dan menunjukkan ketidakpercayaan mereka. Diperkirakan sekitar 200.000 orang berkumpul di sekitar gedung parlemen menjelang pemungutan suara.
“Saya akan menerima semua kritik, dorongan, dan dukungan yang ditujukan kepada saya dan melakukan yang terbaik untuk bangsa ini sampai akhir,” tambah Yoon.
Kini, Yoon diberhentikan dari tugasnya, dan Perdana Menteri Han Duck-soo mengambil peran sebagai pemimpin sementara hingga Mahkamah Konstitusi memutuskan mosi pemakzulan dalam waktu 180 hari. Jika pengadilan menyetujui pemecatannya, pemilihan presiden dini akan diadakan dalam waktu 60 hari.
Di sisi lain, Perdana Menteri Han Duck-soo mendesak para pejabat untuk memulihkan stabilitas, meningkatkan pengawasan militer terhadap potensi provokasi dari Korea Utara, serta mengevaluasi kebijakan ekonomi demi mempersiapkan transisi pemerintahan yang akan datang.
Pengadilan Konstitusi Korea Selatan memerlukan dukungan tujuh hakim untuk membuat keputusan tentang pemakzulan, dengan setidaknya enam hakim harus memberikan persetujuan. Namun, saat ini hanya ada enam hakim yang bertugas karena tiga posisi masih kosong.
Para analis mengatakan ketidakstabilan politik ini memunculkan risiko bagi mitra internasional Korea Selatan, yang memprioritaskan stabilitas sebagai faktor penting dalam aliansi diplomatik mereka. Profesor Leif-Eric Easley dari Universitas Ewha menilai bahwa meskipun demokrasi Korea Selatan menghadapi ketidakstabilan, sistem politik negara itu memberikan contoh penting bagi negara-negara lain.
Jika Mahkamah Konstitusi mendukung pemakzulan, calon terkuat untuk menggantikan Yoon adalah Lee Jae-myung, pemimpin Partai Demokrat. Menurut jajak pendapat Gallup Korea, 29% responden mendukung Lee sebagai calon presiden berikutnya, sedangkan 11% mendukung Han Dong-hoon dari Partai Kekuatan Rakyat yang berkuasa.
Lee Jae-myung dikenal dengan kebijakan yang lebih lunak terhadap Korea Utara, serta strategi distribusi uang untuk rakyat dan pajak yang lebih tinggi bagi perusahaan besar. Namun, Lee juga menghadapi masalah hukum, setelah pengadilan Seoul memvonisnya melanggar undang-undang pemilu bulan lalu, meskipun ia mengajukan banding atas putusan tersebut.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa peta politik Korea Selatan sedang mengalami dinamika signifikan, dengan potensi perubahan besar dalam kepemimpinan dan kebijakan nasional.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok