
Repelita Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia menilai bahwa masalah komunikasi merupakan kendala pokok dalam upaya pemerintah menangani bencana yang menerjang Pulau Sumatera pada akhir November 2025.
Lembaga tersebut mendeteksi adanya berbagai miskomunikasi antara instansi pemerintah daerah dan pusat saat mengambil keputusan terkait penanggulangan bencana.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menyatakan bahwa kesenjangan informasi sering muncul pada saat pemetaan tingkat kegawatan di wilayah terdampak.
Akibatnya, proses penanganan di lapangan menjadi tertunda secara signifikan.
"Adanya kesenjangan informasi antar-instansi, terutama terkait penetapan kategori wilayah terisolasi dan pelaporan bantuan yang berpotensi memperlambat respons dan menimbulkan perbedaan persepsi di lapangan," kata Yeka melalui keterangan resmi pada Sabtu, 13 Desember 2025.
Pemantauan Ombudsman dilakukan di tiga wilayah terdampak di Sumatera Barat, yaitu Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, serta Kota Padang.
Hasilnya menunjukkan adanya miskomunikasi tidak hanya antarlembaga pemerintah, tetapi juga dalam penyampaian informasi kepada masyarakat setempat.
Masyarakat belum mendapatkan penjelasan yang cukup mengenai jenis bantuan, waktu pembukaan akses jalan, maupun kemajuan proses pemulihan.
Kondisi ini menciptakan rasa ketidakpastian di kalangan warga terdampak.
Sebagai contoh, di Jorong Lambe, Kabupaten Agam, terdapat ketidaksesuaian data di internal pemerintah daerah.
Dinas Pekerjaan Umum menyatakan wilayah tersebut termasuk terisolasi terbatas.
Namun, dokumen Badan Penanggulangan Bencana Daerah menetapkan status terisolasi penuh untuk Kabupaten Agam.
Fakta di lapangan lebih mendukung kategori terisolasi penuh karena akses kendaraan benar-benar terputus.
Warga hanya dapat mencapai lokasi dengan berjalan kaki sejauh hampir 10 kilometer pulang-pergi yang memakan waktu sekitar lima jam.
Perbedaan penetapan status ini dinilai melanggar Pasal 21 ayat (1) huruf a serta Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Regulasi tersebut mengharuskan pengkajian cepat dan akurat untuk menentukan kebutuhan darurat serta langkah yang harus diambil.
Selain masalah komunikasi, Ombudsman juga menemukan bahwa pemetaan kebutuhan di daerah bencana belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi riil.
Di Kabupaten Tanah Datar, kerusakan jalur nasional di Lembah Anai memutus konektivitas utama antara Padang dan Bukittinggi.
Dampaknya sangat luas terhadap distribusi logistik karena jalur alternatif memerlukan waktu tempuh tiga hingga empat kali lebih panjang.
Pasokan LPG 3 kilogram, pupuk bersubsidi, serta bahan pokok menjadi terganggu akibat pengalihan rute tersebut.
Sementara itu, di Kota Padang, dua sistem irigasi primer rusak berat karena perubahan aliran sungai yang menghantam bendung, saluran utama, dan jembatan besi di daerah Lambung Bukit.
Dari total 4.358 hektare sawah yang bergantung pada irigasi tersebut, sekitar 3.156 hektare terancam gagal panen karena kekurangan air.
Selain itu, 176 hektare lahan di Kuranji dan Batu Busuk tertimbun material bencana sehingga tidak dapat lagi ditanami.
Kondisi di Kabupaten Tanah Datar dan Kota Padang seharusnya sudah memenuhi kriteria kerusakan prasarana vital yang menjadi prioritas dalam tahap pemulihan darurat sesuai ketentuan PP 21/2008.
Namun, pemerintah daerah belum menetapkan status tersebut hingga saat pemantauan dilakukan.
Ombudsman kemudian menyampaikan beberapa rekomendasi perbaikan kepada pemerintah terkait.
Rekomendasi mencakup penetapan data kebencanaan yang satu, konsisten, dan terverifikasi.
Pemerintah juga diminta mempercepat pembukaan akses darat di titik-titik kritis.
Selain itu, diperlukan penataan ulang sistem distribusi logistik agar tidak terlalu bergantung pada transportasi udara.
Penguatan koordinasi serta alur informasi antarinstansi menjadi poin penting lainnya.
Informasi mengenai pembukaan akses, jadwal pemulihan, status jaringan listrik dan telekomunikasi, maupun penyaluran bantuan harus disampaikan secara rutin dan konsisten kepada masyarakat untuk memberikan kepastian.
Upaya penanggulangan bencana hidrometeorologi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat masih terus berlangsung.
Para kepala daerah di ketiga provinsi tersebut sepakat memperpanjang status darurat bencana hingga sekitar dua minggu ke depan.
Hingga hari ke-17 atau pada 11 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat jumlah korban banjir di Sumatera mendekati 990 orang.
Korban jiwa terbanyak tercatat di Aceh sebanyak 407 orang, diikuti Sumatera Barat 240 orang, serta Sumatera Utara 343 orang.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

