Penulis: Rina Syafri
Pak Prabowo yang terhormat,
Kemarahan terhadap pengkritik tidak akan menghapus fakta. Kritik adalah suara rakyat—suara yang menuntut jiwa kesatria dan rasa tanggung jawab dari seorang pemimpin. Jika tidak ingin dikritik, maka dengarkanlah suara rakyat, bukan mengabaikannya dengan retorika.
Anda pernah berjanji akan memecat pejabat bermasalah. Namun faktanya, sebagian besar pejabat yang tersandung masalah tetap dipertahankan. Janji memberantas korupsi hingga ke Antartika terdengar gagah, tetapi korupsi yang terjadi di depan mata belum ditindak tegas. Janji menegakkan keadilan terdengar lantang, tetapi ketimpangan hukum masih berlangsung. Kasus-kasus seperti judi online, proyek Whoosh, IMIP, hingga polemik ijazah Jokowi terus bergulir tanpa menunjukkan adanya sikap tegas dari pemerintah.
Beberapa bulan lalu, publik juga diguncang tragedi MBG dengan banyak korban keracunan. Namun pejabat yang bertanggung jawab tetap dipertahankan, tidak ada yang dicopot. Padahal di negara lain, insiden kecil yang menyangkut keselamatan publik sudah cukup untuk membuat pejabat mundur. Di sini, nyawa rakyat seolah belum menjadi alasan kuat untuk bertindak tegas.
Kini muncul lagi sederet kasus lain yang menambah daftar panjang. Ada BUMN yang diklaim untung besar, faktanya justru merugi. Namun pejabatnya tetap dipertahankan.
Kasus motor mogok massal gara-gara kualitas BBM, pejabat terkait tetap dipertahankan.
Kasus meninggalnya rakyat kecil saat antrean gas elpiji 3 kg, namun pejabat yang berwenang tetap dipertahankan.
Kasus meninggalnya ojol Arief, yang memicu jeritan rakyat menuntut tanggung jawab, namun pejabat berwenang tetap dipertahankan.
Dan masih banyak kasus lain yang dibiarkan tanpa ada tindakan nyata, meski rakyat berteriak meminta pemecatan.
Di luar negeri, standar kepemimpinan jelas: sedikit saja pejabat bermasalah langsung diganti—tanpa hutang budi, tanpa balas jasa. Di negeri ini, justru sebaliknya: pejabat bermasalah sering kali dipertahankan, bahkan dilindungi.
Maka pertanyaannya: siapa sebenarnya yang “omon-omon”?
Apakah rakyat yang bersuara menuntut keadilan, atau pejabat yang menerima uang rakyat namun menutup telinga dari kritik? Rakyat bersuara karena mereka merasakan langsung ketidakadilan dan dampak kebijakan. Sementara pejabat yang seharusnya melayani, justru sibuk mempertahankan kursi dan kepentingan.
Pak Prabowo, rakyat tidak butuh janji yang diulang-ulang. Rakyat butuh tindakan nyata. Jika benar ingin menegakkan keadilan, tunjukkanlah keberanian memecat pejabat bermasalah—tanpa pandang bulu, tanpa hutang budi, tanpa perhitungan politik.
Kini pertanyaannya tinggal satu: Apakah kita akan terus mempertahankan pejabat bermasalah demi kepentingan politik, atau memilih keberanian menegakkan keadilan demi rakyat yang sudah terlalu lama menunggu?[]

