
Penulis: Rina Syafri
Di banyak negara, jabatan publik dipandang sebagai amanah yang melekat dengan tanggung jawab moral. Ketika terjadi insiden, bahkan tanpa korban jiwa, pejabat terkait biasanya langsung mundur atau dipecat. Rata-rata pejabat paham bahwa mereka tak layak melanjutkan jabatannya. Mereka memiliki tradisi menghukum diri sendiri. Dan itu bukan sekadar hukuman, melainkan simbol bahwa tanggung jawab publik tidak bisa ditawar-tawar.
Contoh nyata ada di Indonesia sendiri: kasus Tubler. Saat insiden itu viral, meski tidak ada korban meninggal, pejabat terkait langsung dipecat. Pesannya jelas: keselamatan rakyat adalah prioritas, dan setiap kelalaian harus dibayar dengan jabatan.
Ironisnya, ketika tragedi besar dengan korban mendekati seribu jiwa terjadi, pejabat justru tampil dengan senyum manis di depan kamera.
Sejumlah pejabat memanfaatkan bencana yang merenggut ratusan nyawa untuk pencitraan diri. Virallah seorang menteri mikul beras. Seorang anggota DPR memakai rompi anti peluru sambil “action”.
Ucapan “mencekam” sambil duduk manis
Konten santai ala “A Day in My Life” dari seorang pejabat yang merupakan asisten pribadi Presiden Prabowo, direkam di atas puing bencana Sumatera. Padahal, rakyat sedang menangis, kehilangan keluarga dan harta benda. Sungguh konten yang ditampilkan dengan gaya santai itu menyiratkan pesan seolah tragedi adalah momen untuk menyajikan adegan estetika. Kontras yang menyakitkan. Rakyat berduka, pejabat berpose.
Di Jepang, seorang menteri bisa mundur hanya karena kesalahan administratif. Di Korea, pejabat dicopot saat banjir menelan puluhan korban. Standar kesatria mereka jelas: nyawa rakyat adalah harga tertinggi.
Sementara di negeri ini, jiwa kesatria nyaris hilang. Setidaknya langka. Tanggung jawab pejabat lebih sering ditutupi dengan pencitraan, bukan tindakan nyata. Padahal, rakyat tidak butuh pejabat yang berpose di depan kamera. Mereka butuh pejabat yang berani berdiri di depan hukum dan moral ketika gagal melindungi rakyatnya.
Apakah kita sudah sebegitu jauh kehilangan rasa malu dan tanggung jawab?
Jika dalam kasus Tubler saja pejabat bisa langsung dipecat, mengapa dalam tragedi besar dengan korban mendekati seribu jiwa nyawa melayang, tidak ada satu pun pejabat yang berani mundur atau dicopot?
Inilah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh bangsa ini. Apakah kita masih punya jiwa kesatria, atau sudah sepenuhnya kehilangan keberanian untuk bertanggung jawab?

