Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Pejabat Publik Krisis Empati, Rakyat Murka

Penulis: Rina Syafri

Publik kembali geger oleh tindakan seorang asisten pribadi Presiden Prabowo yang membuat vlog santai di atas puing bencana Sumatera. Sementara rakyat menangis, kehilangan keluarga dan harta benda, konten yang ditampilkan justru bergaya “A Day in My Life”. Netizen pun murka, merasa kepedihan mereka dijadikan latar tontonan.

Fenomena ini bukan insiden tunggal. Sejak era mantan Presiden Jokowi hingga kini di era Prabowo, publik berkali-kali menyaksikan blunder serupa. Setiap kali bencana terjadi, selalu ada saja pejabat atau lingkar kekuasaan yang salah langkah: komentar yang tidak sensitif, gestur yang tidak pantas, atau aksi yang dianggap pamer di tengah penderitaan rakyat. Pola ini menimbulkan pertanyaan serius: begitu rendahkah rasa empati pejabat publik kita sekarang?

Krisis Empati yang Nyata

Teladan moral bagaikan hilang tak berbekas. Kehadiran pejabat mestinya menjadi pelipur lara. Bukan menambah luka. Vlog santai di atas puing bencana justru memperlihatkan ketidakpekaan.

Konten tidak menggambarkan realitas. Gestur dan gaya konten yang tidak peka menegaskan jurang antara penguasa dan warga yang menderita.

Runtuhnya kepercayaan: Di era digital, satu langkah lalai bisa menghapus kerja baik lainnya. Ketika simbol empati absen, citra pemerintah runtuh di mata masyarakat.

Pola Blunder yang Berulang

Kasus vlog ini bukan insiden tunggal. Ia hanyalah contoh terbaru dari deretan blunder komunikasi pejabat publik.

Bias citra mengalahkan empati. Ini kesan yang menonjol. Fokus pada dokumentasi diri sering menggeser prioritas kebutuhan korban.

Bisa jadi ini terjadi karena minimnya protokol komunikasi pada saat berlangsung krisis. Tanpa pedoman tegas, individu di lingkar jabatan mudah tergelincir pada konten yang tidak pantas untuk konteks bencana.

Apa yang Semestinya Dilakukan

Utamakan kemanusiaan, bukan konten. Tunda dokumentasi personal. Dahulukan koordinasi dan dukungan bagi korban.

Gunakan bahasa dan gestur duka: Wajah serius, kata yang menenangkan, dan tindakan yang menunjukkan kehadiran negara lebih bermakna daripada tayangan santai.

Bangun protokol etika berkomunikasi saat bencana. Setiap orang di lingkar jabatan perlu dibekali pedoman tegas tentang apa yang layak dan tidak layak ditampilkan di ruang publik saat krisis.

Inti Persoalan

Empati bukan aksesori. Ia adalah dasar kepemimpinan di situasi darurat. Ketika empati absen, publik melihat kuasa tanpa jiwa—dan marah adalah reaksi wajar dari masyarakat yang sedang berduka. Jika pejabat publik ingin kembali dipercaya, hentikan romantisasi diri di atas puing, tundukkan ego, hadir sebagai manusia di tengah manusia, dan buktikan bahwa negara merasakan duka rakyat sebagai duka sendiri.[]

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved