Repelita Jakarta - Keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto memicu sorotan tajam dari sejumlah anggota parlemen.
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PDIP, Andreas Hugo Pareira, menegaskan bahwa pemberian gelar tersebut tidak bisa mengabaikan jejak sejarah kelam yang membayangi masa kepemimpinan Soeharto.
Andreas menekankan bahwa Pahlawan Nasional harus menjadi cermin nilai dan arah moral bangsa, sehingga setiap keputusan harus mempertimbangkan semangat persatuan, rekonsiliasi, serta pembelajaran bagi generasi muda.
Keputusan terkait figur publik dengan catatan pelanggaran HAM, kata Andreas, harus ditempatkan dalam kerangka objektivitas moral dan etik bernegara demi menjaga harkat dan martabat pendidikan kebangsaan.
Ia menegaskan perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penetapan Pahlawan Nasional, serta memastikan bahwa keputusan ini tidak menimbulkan tafsir politis yang bisa merugikan rasa keadilan rakyat.
Legislator PDIP itu menyoroti berbagai kasus pelanggaran HAM yang menempel pada era Soeharto, termasuk tragedi 1965–1966, Penembakan Misterius (Petrus) 1981–1985, peristiwa Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, dan Kudatuli 1996, serta pemberlakuan DOM di Aceh dan Papua dan penculikan serta penghilangan paksa 1997–1998.
Andreas juga mengingatkan soal praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang menempel pada masa Orde Baru, yang menurutnya tidak sejalan dengan nilai-nilai yang seharusnya diwakili oleh seorang Pahlawan Nasional.
Menurutnya, gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghargaan formal, melainkan simbol moral bangsa. Oleh karena itu, setiap keputusan negara dalam hal ini harus menimbang semangat persatuan, rekonsiliasi, dan pelajaran bagi generasi muda.
Andreas mempertanyakan apakah Soeharto benar-benar merepresentasikan simbol perlawanan terhadap tantangan-tantangan tersebut, atau justru sebaliknya, mengingat sejarah yang ada.
Proses pemberian gelar ini, menurut Andreas, harus menjadi contoh bagi bangsa bahwa penghargaan negara tidak bisa dilepaskan dari nilai moral, etik, dan sejarah yang objektif.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

