
Repelita Jakarta - Pemerintah memastikan rencana pelaksanaan redenominasi rupiah tetap berjalan meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak gugatan terhadap kebijakan tersebut. Rencana ini disebut dapat memperkuat posisi rupiah di kancah global dengan sistem nilai tukar yang lebih sederhana dan efisien.
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menjelaskan, redenominasi akan mengubah nominal rupiah menjadi satuan yang lebih kecil tanpa mengubah nilai riilnya. Menurutnya, penyederhanaan tersebut membuat transaksi keuangan menjadi lebih mudah, cepat, dan minim kesalahan perhitungan.
Trioksa mencontohkan, jika sebelumnya satu dolar Amerika setara Rp 16.000, maka setelah redenominasi nilainya menjadi Rp 16. Ia menilai, langkah ini akan membuat pencatatan keuangan, transaksi bisnis, dan sistem pembayaran menjadi lebih efisien serta mampu memperkuat persepsi stabilitas ekonomi Indonesia.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi memunculkan spekulasi harga menjelang dan sesudah penerapan. Jika tidak diantisipasi secara matang, kondisi tersebut dapat menimbulkan lonjakan inflasi. Karena itu, ia menekankan pentingnya penerapan redenominasi di saat ekonomi nasional berada dalam keadaan stabil dengan inflasi yang terkendali.
“Redenominasi cocok dilakukan ketika tingkat inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi solid. Kepercayaan publik terhadap rupiah sangat tergantung pada stabilitas ekonomi dan politik,” ujar Trioksa pada Minggu (9/11).
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menambahkan bahwa perubahan nilai nominal uang juga dapat memberikan efek psikologis kepada masyarakat. Menurutnya, sebagian besar masyarakat bisa merasa harga barang menjadi lebih murah, sehingga mendorong peningkatan konsumsi. Namun, dampak tersebut biasanya bersifat sementara.
Ia juga menilai bahwa pemerintah harus memperhitungkan biaya besar untuk pelaksanaan redenominasi, terutama dalam pencetakan uang baru dan edukasi publik. “Ada biaya yang harus dikeluarkan, terutama untuk pencetakan uang baru sekitar Rp 4–5 triliun serta literasi publik agar masyarakat memahami perubahan ini,” jelas Wijayanto.
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menekankan pentingnya koordinasi antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan dalam menyiapkan implementasi redenominasi. Ia menyebut bahwa kesiapan sistem, regulasi, dan komunikasi publik menjadi faktor penentu keberhasilan kebijakan tersebut.
“Redenominasi bermanfaat untuk menyederhanakan transaksi dan sistem akuntansi, memperkuat efisiensi pembayaran, serta meningkatkan kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi nasional jika dikomunikasikan dengan tepat,” ujar Yusuf.
Ia menambahkan bahwa rancangan undang-undang yang mengatur redenominasi perlu memuat pasal yang jelas terkait konversi nilai kontrak dan dokumen hukum agar tidak menimbulkan ketidakpastian. BI juga diminta melakukan simulasi terbatas sebelum kebijakan diterapkan secara penuh untuk memastikan efektivitasnya.
Menurut riset Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan tahun 2017, sejak 1923 tercatat sebanyak 55 negara telah menerapkan redenominasi. Negara-negara seperti Argentina, Turki, Polandia, dan Brasil sukses melaksanakannya karena dilakukan dalam kondisi ekonomi stabil dengan tingkat inflasi rendah.
Namun, riset tersebut juga menegaskan bahwa redenominasi di tengah ketidakstabilan ekonomi justru dapat memicu kegagalan kebijakan. Karena itu, pemerintah diminta berhati-hati agar langkah ini tidak menimbulkan gejolak baru di sektor moneter.
Rencana redenominasi rupiah sendiri telah tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2025–2029 yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) sebagai salah satu program prioritas nasional di bidang fiskal.
RUU tersebut masuk dalam kategori carry-over bill dan ditargetkan rampung pada tahun 2027, dengan pelaksanaan penuh menunggu kesiapan infrastruktur ekonomi, sistem pembayaran, serta komunikasi publik yang efektif.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

