Repelita Jakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika melalui akun media sosial @infoBMKG pada Senin 10 November 2025 membagikan penjelasan mengenai kondisi zona megathrust yang dimiliki Indonesia.
Dalam unggahan tersebut dijelaskan bahwa zona megathrust terbentuk akibat pertemuan lempeng tektonik yang mampu menimbun energi dalam skala sangat besar.
Akumulasi energi tersebut apabila suatu saat dilepaskan dapat memicu gempa bumi berkekuatan signifikan dan berpotensi menimbulkan gelombang tsunami.
Proses tektonik yang melibatkan dua lempeng yang saling bertumbukan dan menyusup inilah yang menciptakan mekanisme penumpukan energi secara bertahap.
Para ahli mencatat bahwa fenomena megathrust biasanya ditandai dengan perubahan geomorfologi seperti penurunan garis pantai secara tiba-tiba.
Istilah teknis ini semakin populer dalam diskusi publik seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap potensi gempa besar di berbagai wilayah Indonesia.
BMKG juga memberikan klarifikasi mengenai frasa tinggal menunggu waktu yang sering kali disalahtafsirkan oleh masyarakat awam.
Lembaga ini menegaskan bahwa penjelasan ilmiah mereka hanya menyatakan bahwa zona gempa di Indonesia telah lama tidak melepaskan energinya.
Namun pernyataan ilmiah tersebut kerap diubah menjadi narasi sensasional yang menyebut bencana akan terjadi dalam waktu dekat.
Penggunaan terminologi ini semata-mata dimaksudkan sebagai bentuk kesiapsiagaan berdasarkan kajian data sejarah dan geologi bukan untuk menciptakan kepanikan massal.
Sebagai langkah antisipasi BMKG menganjurkan masyarakat untuk membangun konstruksi rumah dengan material yang memenuhi standar ketahanan gempa.
Masyarakat juga didorong untuk mempelajari berbagai prosedur evakuasi dan tindakan penyelamatan diri baik sebelum maupun setelah terjadi guncangan gempa.
Beberapa warganet menyampaikan kritik melalui kolom komentar terhadap unggahan penjelasan ilmiah dari BMKG ini.
Akun @Naree_f* menyatakan bahwa instruksi yang diberikan dinilai terlalu sederhana jika dibandingkan dengan skala potensi bencana yang mengancam.
Dia meminta informasi yang lebih komprehensif mengenai langkah-langkah persiapan menghadapi ancaman bencana berskala besar.
Akun ini juga mempertanyakan tindakan konkret yang telah dilakukan pemerintah sejauh ini dalam mengantisipasi risiko gempa megathrust.
Pengguna @myurecept** mengungkapkan keraguan terhadap sistem peringatan dini gempa yang sedang dikembangkan.
Pemerintah dianggap hanya fokus pada pemasangan plang evakuasi tanpa diikuti dengan sosialisasi yang memadai mengenai tata cara penyelamatan.
Akun @Evisko_Sem* mengeluhkan tentang pengulangan informasi mengenai potensi gempa yang dinilai berlebihan.
"Gak usah terus diulang-ulang berita ini, kadang-kadang menakut-nakuti dan bikin redah, kadang dilebih-lebihkan," tulisnya dalam kolom balasan.
Hingga berita ini dibuat pada Rabu 12 November 2025, pertanyaan Tempo kepada Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengenai respons warganet tersebut belum mendapatkan jawaban.
Namun dalam kesempatan terpisah Daryono pernah mengklarifikasi pernyataannya mengenai potensi gempa besar di zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
Dia meminta masyarakat untuk tidak diliputi kecemasan berlebihan dan tetap menjaga pikiran jernih apabila bencana tersebut benar-benar terjadi.
Tujuannya adalah untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa akibat kesalahan dalam prosedur mitigasi saat terjadi gempa atau tsunami.
Menurut Daryono, diskusi mengenai potensi gempa di kedua zona megathrust tersebut sebenarnya bukan merupakan temuan baru di kalangan peneliti.
Pembahasan mengenai hal ini telah dimulai sejak lama bahkan sebelum peristiwa gempa dan tsunami Aceh yang terjadi pada tahun 2004.
Dengan demikian pembahasan terbaru yang muncul bukan merupakan bentuk peringatan akan terjadinya bencana dalam waktu dekat.
"Tidak demikian, BMKG hanya mengingatkan kembali keberadaan zona itu," jelas Daryono melalui keterangan tertulis pada 15 Agustus 2024.
Para peneliti menduga bahwa periode tanpa gempa besar atau seismic gap yang berlangsung ratusan tahun di zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut dapat meningkatkan potensi bahaya di masa depan.
Kondisi kekosongan seismik ini memang perlu diwaspadai karena sewaktu-waktu dapat melepaskan akumulasi energi gempa dalam skala masif.
Daryono menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada teknologi atau metode ilmiah yang mampu memprediksi waktu kejadian gempa secara tepat dan akurat.
BMKG sebagai institusi resmi juga tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui secara persis kapan gempa akan terjadi.
"Belum ada ilmu yang akurat memprediksi terjadinya gempa, kapan, di mana dan berapa kekuatannya," tegas Daryono.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

