Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Dilema KPK: Uang Jemaah Haji Disita, Hukum Dinilai Tumpul

 KPK Usut Perancang SK Kasus Korupsi Kuota Haji yang Rugikan Negara Rp1 Triliun

Repelita Jakarta - Proses penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus kuota haji hingga kini belum menetapkan seorang pun sebagai tersangka.

Situasi ini memperlihatkan betapa rumitnya persoalan ketika hukum positif berhadapan dengan dimensi spiritualitas dan logika masyarakat umum.

Komisi antirasuah telah memanggil berbagai pihak terkait dan melakukan penyitaan terhadap sejumlah dana yang diduga terkait praktik perdagangan kuota ibadah haji.

Investigasi terhadap aliran dana tersebut masih terus dilakukan meskipun belum ada penetapan status tersangka.

Masyarakat mulai mempertanyakan hakikat dari kasus ini apakah benar-benar merupakan tindak pidana korupsi atau sekadar kesulitan dalam menerjemahkan praktik keagamaan ke dalam bahasa hukum.

Yang menjadi bahan pemeriksaan dalam kasus ini bukan proyek fisik pembangunan melainkan perjalanan spiritual yang diatur melalui mekanisme birokrasi.

Dalam konteks inilah batas antara ibadah bisnis dan ketentuan hukum menjadi semakin tidak jelas.

Perlu dipahami dengan baik bahwa anggaran negara dan dana dari Badan Pengelola Keuangan Haji hanya dialokasikan untuk jemaah haji reguler.

Ibadah haji plus sepenuhnya dibiayai menggunakan dana pribadi peserta yang merupakan hasil kesepakatan kontraktual antara jemaah dengan penyelenggara perjalanan.

Besaran biaya paket ditentukan berdasarkan fasilitas yang diberikan seperti kualitas akomodasi hotel layanan katering bimbingan ibadah dan sistem transportasi.

Dengan demikian dana yang dibayarkan oleh jemaah bukan berasal dari kas negara melainkan uang pribadi hasil kesepakatan kedua belah pihak.

Lantas di mana letak kerugian negara dalam mekanisme seperti ini.

Dana yang disita oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bukan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara melainkan tabungan pribadi jemaah yang berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji dengan waktu yang lebih cepat.

Biro perjalanan tidak memperjualbelikan visa haji melainkan menawarkan paket perjalanan ibadah yang mencakup pengalaman spiritual dengan dukungan logistik dan pendampingan komprehensif.

Tingginya biaya paket sering kali disebabkan oleh komponen layanan yang memang memerlukan biaya operasional tinggi.

Menyeragamkan seluruh tarif dan menyimpulkannya sebagai indikasi korupsi merupakan bentuk penyederhanaan hukum yang berisiko.

Tidak semua harga tinggi dapat serta merta dikategorikan sebagai gratifikasi karena sebagian merupakan konsekuensi logis dari perbedaan standar kualitas layanan.

Dalam teori hukum administrasi negara dikenal adanya diskresi sebagai ruang kebebasan bagi pejabat pemerintah untuk mengambil keputusan dalam situasi luar biasa ketika regulasi tertulis belum cukup mengatur.

Selama keputusan tersebut diambil untuk kepentingan umum dan tidak bertujuan memperkaya diri pribadi maka diskresi memiliki keabsahan secara hukum.

Di sinilah letak persoalan sebenarnya perlu dikaji lebih mendalam.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 secara tegas mengatur pembagian kuota haji untuk Indonesia dengan porsi 92 persen bagi jemaah reguler dan 8 persen untuk haji khusus.

Namun ketentuan mengenai kuota tambahan tidak diatur secara rinci dalam undang-undang karena bersumber dari nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi.

Kesepakatan bilateral ini bersifat diplomatis yang memuat berbagai aspek teknis seperti kapasitas tenda di Mina.

Pengelolaan kuota tambahan tersebut berada dalam ranah diskresi administratif dan hubungan diplomatis antarnegara bukan merupakan ranah pidana.

Kebijakan semacam ini sah secara hukum selama tidak disertai dengan niat untuk memperkaya diri sendiri atau melakukan praktik perdagangan pengaruh.

Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini menghadapi dilema yang bersifat moral dan yuridis.

Apabila semua biro perjalanan dikenakan sanksi pidana maka ratusan jemaah yang telah membayar dapat ikut terdampak padahal banyak di antara mereka hanyalah konsumen layanan yang sah.

Sebaliknya jika tidak ada tindakan tegas maka institusi penegak hukum ini dapat dianggap tidak konsisten dalam pemberantasan korupsi.

Persoalan mendasar tidak terletak pada persentase pembagian kuota melainkan pada pemahaman kita tentang batas antara kebijakan negara aktivitas bisnis dan niat ibadah.

Hukum positif seringkali tidak mampu menjangkau logika diplomasi dan spiritualitas dalam satu rumusan pasal.

Penegakan hukum seharusnya mampu membedakan dengan jelas antara nilai jasa layanan dan nilai pengaruh yang disalahgunakan.

Nilai jasa merupakan konsekuensi wajar dari suatu kontrak perjanjian sementara nilai pengaruh merupakan bentuk gratifikasi yang terlarang.

Yang pertama merupakan tindakan hukum yang sah sedangkan yang kedua merupakan perbuatan pidana.

Apabila semua perpindahan uang dianggap sebagai suap maka seluruh mekanisme layanan publik berpotensi dikategorikan sebagai tindak kejahatan.

Hukum yang kehilangan konteks pada akhirnya akan berubah menjadi alat stigmatisasi bukan lagi sebagai instrumen keadilan.

Seorang ahli hukum ternama William Blackstone pernah menyampaikan prinsip fundamental dalam peradilan.

Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.

Pernyataan tersebut tertuang dalam karya monumentalnya Commentaries on the Laws of England yang terbit pada tahun 1765.

Prinsip abadi ini sedang diuji dalam kasus kuota haji dimana semangat pemberantasan korupsi berpotensi menjerat pihak-pihak yang tidak bersalah akibat penafsiran yang terburu-buru.

Dalam persoalan haji yang dipertaruhkan bukan hanya pasal-pasal hukum melainkan juga kepercayaan umat terhadap sistem keadilan.

Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menegakkan hukum namun hukum itu sendiri harus memahami batas-batasnya.

Apabila yang disita adalah dana pribadi jemaah bukan uang negara maka proses penyidikan harus didasarkan pada prinsip proporsionalitas dan nalar sehat.

Hukum boleh diterapkan secara tegas namun tidak boleh kehilangan rasa kemanusiaan.

Dalam situasi dimana niat baik mudah dicurigai bisa jadi jemaah yang menabung untuk ibadah justru dianggap bersalah sementara pelaku sebenarnya bersembunyi di balik seragam penegak hukum.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved