Repelita Jakarta - Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid menilai pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto tidak layak dilakukan.
Ia menyebut langkah pemerintah itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia pasca-rezim Orde Baru.
“Selama berkuasa, Soeharto terlibat dalam berbagai tindakan yang mencederai nilai-nilai kepahlawanan. Rezim Orde Baru yang dikendalikannya selama lebih tiga dasawarsa melakukan berbagai dosa besar demokrasi, mulai dari pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, represi politik, hingga kebebasan sipil politik,” ujar Alissa, Senin, 10 November 2025.
Alissa menegaskan bahwa meskipun Soeharto memiliki peran dalam pembangunan nasional, seperti swasembada pangan dan stabilitas ekonomi, memori kolektif bangsa tidak boleh mengabaikan sisi kelam pemerintahannya.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto menjalankan pemerintahan secara otoriter, menyingkirkan lawan politik, membungkam pers, dan membiarkan praktik korupsi merajalela.
“Pemberian pahlawan kepada Soeharto merupakan sebuah pengkhianatan pada demokrasi khususnya terhadap gerakan reformasi yang telah menumbangkan rezim otoritarianisme yang korup,” ucapnya.
Menurut Alissa, gelar pahlawan nasional seharusnya diberikan kepada sosok dengan integritas moral dan keteladanan bagi generasi berikutnya.
Hal ini sesuai dengan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang mensyaratkan penerima gelar pahlawan nasional memiliki keteladanan dan tidak melakukan perbuatan tercela.
Dengan catatan kelam sepanjang 32 tahun kekuasaan, Soeharto dianggap tidak memenuhi persyaratan tersebut.
“Pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto yang berkuasa secara otoriter sebagai Presiden RI selama 32 tahun patut dipertanyakan,” pungkas Alissa.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

