Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Yang Viral yang Berkuasa: Politik Diatur Algoritme, Bukan Lagi Akal Sehat

 Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sedang menyapa masyarakat setelah pertandingan bola Persib.

Repelita Jakarta - Fenomena baru bernama Power Morph mulai menggambarkan perubahan arah kekuasaan di era digital.

Kekuatan yang dulu bersumber dari hukum, institusi, dan konstitusi, kini menjelma menjadi kekuasaan berbasis algoritme dan viralitas media sosial.

Dalam fenomena ini, kebenaran tidak lagi berdiri di atas argumen dan bukti ilmiah, melainkan ditentukan oleh jumlah likes, retweet, dan tayangan.

Politikus pun mulai lebih sering mengandalkan narasi emosional ketimbang substansi kebijakan demi menggugah simpati publik.

Fenomena ini dicetuskan sebagai Power Morph, yakni pergeseran kuasa dari ranah formal menuju jejaring afektif yang dikendalikan oleh teknologi.

Dalam ekosistem seperti ini, daya pengaruh tidak lahir dari regulasi, tapi dari kemampuannya menggugah emosi dan membentuk gema digital.

Konsekuensinya, opini publik menjadi kabur, penegakan hukum terganggu, dan sistem demokrasi bisa tergelincir dalam krisis kepercayaan.

Di sisi lain, hukum yang berlaku belum sepenuhnya mampu merespons dinamika baru ini karena belum dirancang menghadapi logika algoritme.

Maka, menjadi penting bagi negara untuk membangun ulang kerangka demokrasi yang lebih adaptif terhadap perkembangan digital.

Fase ini memunculkan istilah fictocracy, yaitu ketika persepsi kolektif masyarakat dibentuk oleh narasi yang menyentuh emosi, bukan data dan kebijakan nyata.

Citra pemimpin tak lagi dibentuk lewat kinerja, melainkan melalui rekayasa visual dan naratif yang viral di media sosial.

Contohnya bisa dilihat pada figur-figur seperti Dedi Mulyadi, Anies Baswedan, hingga Ganjar Pranowo yang kerap membangun citra melalui video pendek yang menyentuh.

Di level global, Donald Trump dan Volodymyr Zelenskyy menunjukkan bahwa emosi bisa jauh lebih memikat ketimbang data dalam menggalang dukungan.

Kekuatan pun berpindah ke simpul digital yang disebut nodicentrism, yakni ketika pusat kendali opini dan pengaruh tidak lagi berada di lembaga negara, tapi di tangan platform seperti TikTok dan X.

Praktik shadow banning, boosting, dan framing kini menjadi bentuk kendali politik yang bekerja diam-diam namun efektif.

Pada titik ini, kekuasaan berubah menjadi pertunjukan afeksi—disebut affective simulation—di mana ekspresi, visual, dan narasi digunakan untuk membentuk persepsi massa.

Para politikus menjadi koreografer emosi, bukan penyuplai ideologi.

Kita hidup di zaman ketika fakta tidak lagi menjadi senjata utama.

Kekuasaan bukan lagi soal otoritas, tapi tentang siapa yang paling berhasil membentuk suasana hati publik.

Kesadaran naratif menjadi kebutuhan mendesak.

Setiap potongan video, meme, dan teks bukan sekadar konten, tapi perebutan makna sosial.

Jika ingin menyelamatkan demokrasi, kita harus merancang ulang kekuasaan secara lebih etis, tidak hanya berdasar data, tapi juga sensitif terhadap afeksi kolektif.

Kita harus mengerti bahwa algoritme kini mengatur nurani.

Tugas publik adalah mengenali permainan ini dan melawannya dengan kesadaran, bukan sekadar bantahan.

Demokrasi digital tidak boleh dibiarkan menjadi panggung fiksi politik tanpa kontrol etis.

Jika tidak disikapi, kita hanya akan menjadi penonton dalam pertunjukan yang menentukan hidup kita sendiri. (*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved