Repelita Jakarta - Tragedi banjir bandang serta tanah longsor yang menghantam tiga provinsi di Pulau Sumatra terus menjadi pusat perhatian masyarakat, terutama terkait dampak buruk dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.
Aktivis daring Ary Prasetyo dengan tegas menyalahkan perluasan areal perkebunan kelapa sawit serta operasi pertambangan yang tidak terkendali sebagai pemicu utama yang semakin memperburuk kerentanan ekosistem di kawasan tersebut.
Beliau mempersoalkan pihak mana yang sesungguhnya mendapat keuntungan dari pembukaan lahan secara besar-besaran, sementara masyarakat biasa justru harus menghadapi konsekuensi berupa musibah yang berulang kali terjadi.
Kebun Sawit Untuk Siapa? Sedangkan rakyat kebagian bencana. Demikian tulis Ary Prasetyo melalui akun X @Ary_PrasKe2 pada tanggal (15/12/2025).
Ary Prasetyo menggambarkan bahwa metode penanaman sawit yang dilakukan tanpa perencanaan matang, disertai dengan pengeksploitan tambang yang tak terawasi, telah mendatangkan malapetaka signifikan bagi seluruh Pulau Sumatra.
Ugal-ugalan tanam sawit dan tambang bawa petaka di Sumatra. Lanjutnya dalam penyampaian yang sama.
Ary Prasetyo juga menekankan magnitudo dari peristiwa kali ini yang tergolong luar biasa berat bagi wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Menurutnya, jumlah nyawa yang hilang telah mendekati seribu orang, dengan ratusan lainnya belum ditemukan serta ribuan penduduk menderita cedera fisik.
Tak ada yang menyangka, banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi di Pulau Sumatera, menelan korban hingga seribu nyawa. Ungkap Ary Prasetyo dengan nada prihatin.
Beliau menambahkan bahwa penderitaan yang dialami korban tidak terbatas pada kehilangan sanak saudara saja.
Banyak di antara mereka juga kehilangan aset berharga serta sumber penghidupan yang lenyap tertelan arus bencana.
Belum lagi kerugian ekonomi, karena mereka harus kehilangan harta benda hingga pekerjaan. Katanya lebih lanjut.
Pasca-peristiwa ini, Ary Prasetyo memandang bahwa otoritas negara akan menghadapi tugas berat yang meliputi tidak hanya rekonstruksi infrastruktur, melainkan juga upaya pemulihan kondisi kejiwaan bagi para penyintas.
Usai bencana, bakal banyak hal yang harus dilakukan pemerintah guna menyembuhkan luka-luka itu. Termasuk memulihkan mental warga yang selamat dari bencana. Imbuhnya sebagai penutup.
Ary Prasetyo dengan jelas menyatakan bahwa sumber utama dari banjir bandang serta longsor tidak dapat dipisahkan dari fenomena penebangan hutan secara ekstensif.
Beliau mengacu pada temuan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang mendokumentasikan peningkatan tajam kerusakan hutan di tiga provinsi Sumatra sepanjang periode 2016 hingga 2024.
Biang kerok banjir dan tanah longsor, apalagi kalau bukan maraknya penggundulan hutan. Tegas Ary Prasetyo.
Berdasarkan data WALHI, luas hutan yang musnah di area tersebut mencapai sekitar 1,4 juta hektare.
Angka tersebut semakin menguatkan keprihatinan luas di masyarakat bahwa krisis lingkungan di Sumatra bukanlah murni bencana alam semata, tetapi hasil dari akumulasi kebijakan dan aktivitas eksploitasi yang telah berlangsung lama.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

