Repelita Jakarta - Gibran Rakabuming Raka tengah menghadapi tekanan serius dari sejumlah advokat yang menamakan diri Advokat Perekat Nusantara.
Mereka melayangkan somasi resmi yang berisi tuntutan agar Gibran mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.
Somasi tersebut disampaikan secara terbuka dan memberikan tenggat waktu tujuh hari kepada Gibran untuk merespons permintaan itu.
Jika tidak diindahkan, para advokat menyatakan siap membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mendorong pemakzulan.
Mereka menilai kehadiran Gibran sebagai wapres merupakan produk dari proses konstitusi yang cacat dan sarat intervensi kekuasaan.
Salah satu argumen mereka adalah dugaan bahwa keterlibatan Gibran dalam Pilpres 2024 dimungkinkan karena perubahan mendadak terhadap syarat usia calon, melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial.
Putusan tersebut sempat memicu protes luas dari masyarakat sipil dan kelompok akademisi yang mempertanyakan netralitas lembaga peradilan.
Selain itu, para advokat juga mengangkat isu seputar keberadaan akun media sosial “Fufufafa” yang dikaitkan dengan aktivitas kampanye terselubung selama pemilu berlangsung.
Mereka menyebut akun tersebut menyebarkan narasi yang merugikan pasangan calon lain dan berpotensi menyesatkan opini publik.
Keberadaan akun itu menimbulkan kecurigaan soal strategi kampanye yang tidak sehat dan dianggap mencoreng etika politik.
Desakan kepada Gibran agar mundur tidak hanya datang dari kalangan advokat.
Forum Purnawirawan TNI juga menyatakan ketidakpuasan mereka atas legitimasi yang melekat pada posisi Gibran sebagai orang nomor dua di republik ini.
Mereka menyebut proses hukum yang membuka jalan bagi Gibran maju sebagai cawapres sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan hukum.
Forum tersebut menegaskan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat usia capres dan cawapres secara mendadak telah menciderai keadilan pemilu.
Mereka juga meminta agar elite politik berhenti menormalisasi pelanggaran hukum atas nama stabilitas nasional.
Di sisi lain, sejumlah pengamat politik menilai desakan tersebut sangat sulit direalisasikan karena mekanisme pemberhentian wakil presiden diatur ketat oleh konstitusi.
Pemakzulan hanya bisa dilakukan jika ada bukti kuat bahwa Gibran melakukan pelanggaran berat seperti korupsi, pengkhianatan negara, atau perbuatan tercela lainnya.
Mekanisme ini harus melalui proses panjang di DPR, diteruskan ke Mahkamah Konstitusi, dan berakhir di MPR.
Sejumlah tokoh politik juga memberikan tanggapan atas polemik ini.
Beberapa menganggap tuntutan pengunduran diri terlalu mengada-ada karena tidak disertai bukti konkret.
Mereka menekankan bahwa Gibran telah dilantik secara sah dan dipilih oleh rakyat melalui proses demokrasi yang telah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Namun, kelompok masyarakat sipil tetap bersikukuh bahwa persoalan legitimasi tidak hanya soal prosedur, tetapi juga menyangkut moralitas politik dan kepatutan publik.
Dalam situasi ini, sorotan terhadap Gibran semakin intens, baik dari segi hukum maupun politik.
Belum ada tanggapan resmi dari pihak Istana mengenai somasi yang dilayangkan tersebut.
Sementara itu, masyarakat menunggu apakah Gibran akan memberikan respons terbuka atau tetap memilih diam.
Desakan ini menjadi cermin bahwa persoalan legitimasi kekuasaan tidak pernah benar-benar selesai meski proses hukum telah dilalui.
Kredibilitas demokrasi Indonesia kembali diuji melalui dinamika politik yang terus bergerak. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

