
Repelita Banda Aceh - Tindakan Menteri Dalam Negeri yang diduga mengambil alih empat pulau serta sejumlah kawasan perbatasan milik Aceh memicu kecaman publik karena dinilai bertentangan dengan MoU Helsinki 2005.
Kesepakatan damai tersebut secara tegas menetapkan batas wilayah Aceh berdasarkan kondisi per 1 Juli 1956.
Akun X @Aceh menyampaikan peringatan soal hal ini dalam unggahannya yang dikutip pada Rabu, 11 Juni 2025.
Dalam butir 1.1.4 MoU Helsinki disebutkan bahwa wilayah Aceh adalah seluruh Provinsi Aceh sebagaimana berlaku saat kesepakatan itu dibuat.
“Wilayah Aceh mencakup wilayah yang saat ini merupakan Provinsi Aceh. Batas-batasnya adalah seperti yang berlaku pada 1 Juli 1956.”
Penjabaran dari butir ini menegaskan bahwa pengakuan atas Aceh bersifat administratif dan bersandar pada peta wilayah tahun 1956.
Artinya, pembatasan tersebut mengikat dan menjadi rujukan utama dalam menentukan kedaulatan administratif Aceh pasca konflik.
Pemerintah pusat tidak dibenarkan melakukan penyesuaian batas wilayah tanpa restu masyarakat Aceh.
Pemisahan Aceh dari Sumatera Utara tahun 1956 menjadi dasar bahwa seluruh wilayah yang saat itu tergolong dalam Provinsi Aceh harus tetap utuh.
Dengan begitu, tidak ada satu pun wilayah Aceh yang bisa dipindahkan ke provinsi lain secara sepihak.
Perubahan sepihak, seperti memasukkan bagian Aceh ke provinsi tetangga, dianggap melanggar substansi MoU.
Daerah-daerah yang berbatasan dengan Sumatera Utara seperti Nias, Tapanuli Selatan, dan Dairi, tetap harus mengacu pada batas wilayah historis 1956.
Ketentuan ini menjadi bagian dari jaminan politik bahwa Aceh tidak akan dikurangi secara geografis setelah tercapainya perdamaian. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

