Repelita Jakarta -
Kejaksaan Agung membuka peluang agar sidang perkara dugaan korupsi dalam proyek pengadaan user terminal untuk satelit orbit 123 derajat bujur timur di Kementerian Pertahanan dilakukan tanpa kehadiran salah satu tersangka.
Tersangka tersebut adalah Gabor Kuti, CEO Navayo International AG, yang hingga kini terus mangkir dari panggilan penyidik.
“Mereka tidak datang ke sini, jadi ya kita akan ajukan ke ini, limpahkan ke pengadilan gitu loh, koneksitas itu tetap disidangkan.
Kan ada hukum acaranya, kalau memang tidak datang ya pengadilan secara in absentia,” ujar Jampidmil Mayjen TNI M Ali Ridho saat ditemui di Kejaksaan Agung, Jumat (20/6/2025).
Gabor Kuti diketahui merupakan warga negara Hungaria.
Ia sudah tiga kali tidak memenuhi panggilan penyidik sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 7 Mei 2025.
Pemanggilan keempat pun telah dilayangkan, namun proses penyidikan akan tetap berjalan meskipun ia kembali mangkir.
“Kalau hanya menunggu terus, enggak rampung-rampung, nanti enggak datang-datang, enggak selesai-selesai perkara Navayo ini,” lanjut Ali.
Sementara itu, dua tersangka lainnya telah dimintai keterangan oleh penyidik.
Mereka adalah Laksamana Muda TNI (Purn) Ir Leonardi, eks Kepala Badan Sarana Pertahanan sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), serta Anthony Thomas Van Der Hayden sebagai perantara.
“Sudah kita panggil kemarin, dan sudah dimintai keterangan sebagai tersangka dua orang tersebut,” ucap Ali.
Para tersangka diduga merekayasa proses pengadaan meski mengetahui bahwa Kementerian Pertahanan tidak memiliki anggaran untuk proyek satelit tersebut.
Rekayasa ini kemudian dijadikan dasar oleh pihak Navayo untuk menggugat Indonesia ke lembaga arbitrase internasional.
“Mereka (Navayo) itu kan mengajukan invoice fiktif, invoice fiktif itulah yang diajukan ke pengadilan,” jelas Brigjen Andi Suci dari Jampidmil dalam konferensi pers, Kamis (8/5/2025).
Fakta tersebut terkuak setelah penyidik menelusuri kronologi kerja sama antara Navayo dan Leonardi selaku pejabat berwenang.
Leonardi diketahui menandatangani kontrak dengan Gabor Kuti pada 1 Juli 2016 untuk pengadaan peralatan dan terminal senilai USD 34.194.300 yang kemudian diubah menjadi USD 29.900.000.
Penunjukan Navayo sebagai pelaksana tidak melalui prosedur pengadaan resmi.
Navayo bahkan merupakan rekomendasi dari Anthony Thomas Van Der Hayden yang saat itu menjabat sebagai Tenaga Ahli Satelit.
Setelah kontrak diteken, Navayo menjadi pelaksana proyek tersebut.
Beberapa waktu kemudian, mereka mengklaim telah mengirimkan barang ke Kemhan.
Empat Sertifikat Kinerja (CoP) diterbitkan berdasarkan persetujuan Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Hartawan dan Leonardi.
Namun, CoP itu disiapkan oleh Anthony dan tidak ada pengecekan barang terlebih dahulu sebelum ditandatangani.
Usai diterbitkan, Navayo mengirimkan empat invoice ke Kemhan untuk meminta pembayaran sesuai kontrak.
Faktanya, hingga 2019, anggaran untuk pengadaan satelit belum tersedia.
Navayo kemudian menggugat pemerintah Indonesia di pengadilan internasional.
Hasilnya, pada awal 2025, Indonesia dihukum oleh Arbitrase Singapura untuk membayar USD 20.862.822.
“Kementerian Pertahanan RI harus membayar sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura karena telah menandatangani Certificate of Performance (CoP),” jelas Andi.
Menurut BPKP, proyek ini menyebabkan kerugian negara sebesar USD 21.384.851,89.
Dalam proses penyidikan, para ahli satelit diminta menilai hasil kerja Navayo.
Sebanyak 550 unit handphone yang diklaim telah dikirim diperiksa.
Hasilnya, perangkat tersebut bukan handphone satelit dan tidak memiliki Secure Chip seperti yang tertulis dalam kontrak.
Pemeriksaan juga dilakukan terhadap program perangkat lunak Navayo yang tertuang dalam 12 buku Milestone 3 Submission.
Setelah dikaji, program tersebut dinilai tidak mampu membangun sistem terminal pengguna seperti yang dijanjikan.
Berdasarkan semua temuan ini, Kejaksaan menetapkan Leonardi, Anthony Thomas Van Der Hayden, dan Gabor Kuti sebagai tersangka.
Penetapan ini juga berkaitan dengan kewajiban membayar putusan arbitrase dan permintaan penyitaan sejumlah properti diplomatik Indonesia di Paris oleh juru sita setempat.
Properti tersebut mencakup Wisma Wakil Kepala Perwakilan RI, rumah dinas Atase Pertahanan, dan apartemen Koordinator Fungsi Politik KBRI.
Ketiga tersangka dijerat dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan KUHP, mulai dari Pasal 2, Pasal 3, hingga Pasal 8, disertai unsur perbuatan berlanjut dan turut serta. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok