Repelita Jakarta - Hermawan Sulistyo, mantan Ketua Tim Asistensi TGPF Peristiwa Mei 1998, mengungkap bahwa kerusuhan nasional pada 13–15 Mei 1998 sejatinya sudah diperkirakan sejak akhir 1997.
Ia menyebut peristiwa itu bukan sekadar insiden spontan, melainkan hasil dari tekanan sosial, ekonomi, dan politik yang memuncak.
Menurutnya, ledakan itu adalah bagian dari perjalanan sejarah yang tak terhindarkan.
"Saya sudah ngomong bahwa akan ada revolusi dalam tanda petik, jauh sebelum Mei. Pada Desember 97, November-Desember, itu kami sudah tahu akan ada kerusuhan ini," ujar Hermawan dalam wawancara eksklusif.
Ia menekankan bahwa kerusuhan kerap memakan korban dari kalangan terdekat gerakan.
"Kalau dalam satu kerusuhan yang menjadi bagian dari revolusi, biasanya korban pertama adalah anak-anak kandungnya sendiri. Mahasiswa pejuang-pejuang itu mungkin korban pertamanya," ucapnya.
Ia juga menilai pola revolusi dari negara lain tidak selalu cocok diterapkan di Indonesia.
Hermawan mencontohkan, jika mahasiswa tidur di jalan saat demo di Indonesia, mereka bisa saja dilindas, berbeda dengan yang terjadi di Filipina.
Pada 5 Mei 1998, Hermawan bersama sejumlah mahasiswa psikologi dari berbagai kampus di Jakarta mengadakan simulasi kerusuhan.
Mereka menyusun skenario empat mahasiswa ditembak sebagai pemicu kerusuhan nasional.
"Saya bilang kenapa harus empat. Kalau kurang dari empat, tidak punya dampak politis," jelasnya.
Sebanyak 100 mahasiswa turut serta, dibagi menjadi dua kelompok: demonstran dan aparat.
Beberapa hari setelah simulasi itu, pada 12 Mei, empat mahasiswa Universitas Trisakti benar-benar tewas tertembak dalam aksi damai.
Korban itu adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hendriawan Sie, dan Hadi Wijaya.
Peristiwa itu menjadi pemantik utama gelombang reformasi yang menjatuhkan pemerintahan Orde Baru.
Hermawan juga mengaku sempat diwawancara oleh media asing dan menyatakan bahwa kawasan Thamrin akan membara.
Saat prediksi itu terjadi, ia sempat dituduh sebagai dalang kerusuhan.
"Terus saya dituduh. Berarti Kiki ini yang main. Main apa? Bukan tentara. Bedil tak punya kok," katanya.
Baginya, kerusuhan 1998 bukan sekadar kebetulan sejarah, tapi sesuatu yang bisa diramalkan berdasarkan dinamika bangsa saat itu. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok