
Repelita Jakarta - Polemik mengenai keaslian ijazah mantan Presiden Jokowi terus menjadi perhatian publik setelah Bareskrim Polri menyatakan dokumen tersebut sah secara hukum.
Meski demikian, pakar hukum dari Universitas Indonesia, Aristo Pangaribuan, menilai bahwa walaupun legalitas ijazah telah dipastikan secara formal, ruang pengujian terhadap kebenaran faktual tetap terbuka di pengadilan.
Menurutnya, masalah ini bukan hanya soal keaslian dokumen, tetapi lebih pada aspek pembuktian dalam hukum acara pidana.
Aristo menjelaskan terdapat perbedaan antara kebenaran hukum dan kebenaran faktual.
Kebenaran hukum diperoleh melalui proses formal oleh lembaga berwenang seperti Bareskrim, sementara kebenaran faktual berkaitan dengan kejadian nyata yang sesungguhnya terjadi.
Bareskrim Polri sudah melakukan berbagai verifikasi termasuk uji forensik terhadap kertas, tinta, tanda tangan, dan stempel ijazah.
Selain itu, mereka juga menghadirkan saksi dan bukti foto untuk memperkuat validitas dokumen tersebut.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, Bareskrim menyimpulkan bahwa ijazah itu sah dan tidak ditemukan indikasi pemalsuan.
Namun, Aristo menegaskan pihak yang meragukan keabsahan ijazah masih dapat mengajukan bukti tandingan di pengadilan.
Ia menyebutkan bahwa dalam proses pembuktian, yang menentukan adalah siapa yang mampu memberikan bukti paling meyakinkan.
Aristo juga mengilustrasikan bahwa tim advokasi yang meragukan keaslian ijazah saat ini masih kalah dalam proses pembuktian awal.
Hanya pengadilan yang dapat menguji kebenaran faktual secara menyeluruh dan membalikkan asumsi legal yang ada jika bukti kuat ditemukan bertentangan dengan hasil penyelidikan Bareskrim.
Sistem hukum Indonesia menekankan jumlah dan kualitas alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Pada tahap ini, otoritas sudah memiliki lebih dari dua alat bukti yang secara teknis cukup memenuhi standar pembuktian formal.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

