Repelita Jakarta - Jawaban Presiden Joko Widodo terhadap pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mengenai ijazah menjadi perhatian publik.
Megawati sebelumnya menyebut bahwa polemik ijazah seharusnya bisa diselesaikan dengan menunjukkan ijazah asli milik Jokowi kepada masyarakat.
Namun saat ditanya langsung oleh awak media di Bareskrim Polri, Jokowi tidak menanggapi secara spesifik pernyataan Megawati tersebut.
Ia justru menyebut bahwa tudingan terkait ijazah sudah kelewat batas.
"Saya itu sebetulnya ya, sebetulnya sedih. Kalau proses hukum mengenai ijazah ini maju lagi ke tahapan berikutnya," kata Jokowi di depan wartawan usai diperiksa penyidik di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.
Ia menambahkan, "Saya kasihan, tapi kan ini sudah keterlaluan, jadi, ya kita tunggu proses hukum selanjutnya."
Sebelum berlalu, Jokowi hanya menutup singkat, "Ya saya rasa itu aja."
Pernyataan Jokowi ini kemudian ditanggapi oleh Dr Tifa melalui akun media sosial pribadinya @DokterTifa.
Ia menganggap diksi 'keterlaluan' yang digunakan Jokowi bukan sekadar ekspresi pribadi, melainkan menyimpan makna kekuasaan.
"Ketika 'keterlaluan' menjadi senjata kekuasaan. Dalam politik, tidak ada kata yang netral," tulis Dr Tifa.
Menurutnya, Jokowi menyebut kata itu saat ditanya soal tanggapan terhadap ucapan Megawati yang meminta ijazah asli ditunjukkan.
Dr Tifa berpendapat, ucapan tersebut adalah bentuk sinyal yang ditujukan bukan hanya kepada penuduh, tapi juga kepada Megawati sebagai pimpinan partai.
"Kata ini digunakan untuk menjawab pertanyaan atas pernyataan Ketum PDIP," tulisnya lagi.
Ia menegaskan, istilah 'keterlaluan' tidak diarahkan pada Roy Suryo, Rismon Sianipar, atau dirinya.
Namun kepada Megawati yang mengungkapkan pernyataan soal keaslian ijazah Jokowi.
"Artinya, siapa pun yang mengajukan pertanyaan soal ijazah, walau dari kalangan internal sekalipun, dianggap telah melewati batas," tambahnya.
Dr Tifa mengatakan bahwa berpikir kritis dan mengungkap kebenaran tidak dilarang dalam negara demokrasi.
Yang seharusnya dibatasi menurutnya adalah masa kekuasaan dan penyalahgunaannya.
"‘Keterlaluan’ ini adalah abuse of power. Jika kata itu digunakan untuk membungkam logika publik, justru di situlah letak keterlaluan yang sesungguhnya," tulis Dr Tifa.
Ia kembali menyoroti bahwa Megawati hanya mengutarakan pertanyaan sederhana yang bisa dijawab dengan tindakan sederhana pula.
Jika memang memiliki ijazah asli, maka seharusnya bisa langsung diperlihatkan.
Dr Tifa mengungkapkan keheranannya atas sikap Jokowi yang saat itu membawa map ijazah, namun tidak membukanya di hadapan wartawan.
"Kenapa map itu hanya dibalik, kenapa tidak langsung tunjukkan saja ijazahnya?" tanya Dr Tifa.
Ia menyinggung proses sidang di Pengadilan Negeri Surakarta di mana hakim disebut sudah beberapa kali meminta Jokowi menunjukkan ijazah.
Namun tetap tidak ditunjukkan secara terbuka.
"Kalau bukan di Pengadilan Surakarta, mau hakim dari mana lagi yang bisa memaksa menunjukkan ijazah?" tambahnya.
Dr Tifa juga menyamakan sikap Jokowi dengan seseorang yang menyembelih kambing sambil merasa kasihan.
"Langsung membayangkan, orang lagi bakar kambing sambil bilang, saya itu sebetulnya sedih, kasihan sama kambing ini, tapi mau bagaimana lagi.... enak soalnya," tulisnya.
Menurut Dr Tifa, yang seharusnya merasa sedih adalah pihak yang akan terus diburu rakyat dengan berbagai pertanyaan terkait janji dan kasus yang belum terselesaikan.
Ia menyebut beberapa contoh seperti janji pengadaan mobil Esemka, utang negara, proyek IKN, hingga kasus Kanjuruhan dan KM50.
"Sebetulnya jujur lebih kasihan lagi dengan seseorang yang seumur hidupnya akan terus dikejar pesanan ESEMKA 6000 unit, utang Rp 8.000 triliun, IKN mangkrak, nyawa 135 korban Kanjuruhan, korban KM50, 890 petugas KPPS, masyarakat Yahukimo yang meninggal massal karena kelaparan, 60 persen penduduk Indonesia menjadi miskin dalam 10 tahun terakhir," urainya.
Ia menambahkan bahwa menjadi bulan-bulanan masyarakat setiap hari tentu bukan hal yang mudah.
"Ngga terbayang bagaimana itu rasanya, jadi bulan-bulanan rakyat setiap hari, dan dikejar tuntutan terus sampai akhirat," pungkasnya.
Komentar Megawati sendiri awalnya disampaikan saat peluncuran buku Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di BRIN, Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Megawati menyentil isu ijazah yang tengah ramai dan menyarankan agar persoalan itu diselesaikan dengan cara mudah.
"Orang banyak kok sekarang gonjang-ganjing urusan ijazah, bener opo enggak? Ya kok susah amat ya, kan kalau di ijazah betul gitu, kasih aja, 'ini ijazah saya' gitu loh," ucapnya.
Menurut Megawati, kejujuran dan transparansi penting dalam menyikapi tuduhan.
Jika memang tidak ada yang disembunyikan, seharusnya tidak perlu merasa repot.
Isu ini mencuat meskipun pihak UGM sudah berulang kali membantah tuduhan mengenai keaslian ijazah Jokowi.
Namun publik tetap mempermasalahkan karena pernyataan resmi belum disertai dengan bukti langsung di hadapan umum.
Sementara itu, Jokowi telah menjalani pemeriksaan oleh penyidik Bareskrim Polri.
Pemeriksaan ini berkaitan dengan laporan masyarakat tentang dugaan ijazah palsu.
Jokowi mengaku diberi 22 pertanyaan oleh penyidik dalam sesi klarifikasi tersebut.
Pertanyaan yang diajukan mencakup riwayat pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Termasuk pula aktivitas akademiknya selama masa kuliah.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

