Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Dikotomi Sipil-Militer Picu Ketegangan, Faizal Assegaf: Berbahaya bagi Bangsa

Repelita, Jakarta - Masyarakat perlu mengevaluasi penggunaan istilah supremasi sipil dan militer, sebab tidak ada dalam konstitusi Indonesia. Demikian disampaikan aktivis 1998 sekaligus kritikus politik, Faizal Assegaf, dalam diskusi bertajuk "Dikotomi Sipil-Militer Telaah RUU TNI 2025" yang digagas Partai Negoro di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

"Kalau supremasi sipil terus-menerus dijadikan dasar dengan memberi bayang-bayang seolah-olah elemen lain berada di bawah sipil, maka itu berbahaya. Karena itu tidak ditemukan di konstitusi," kata Faizal.

Faizal khawatir, jika supremasi sipil terus digaungkan untuk dibenturkan dengan militer, maka keutuhan bangsa bisa terancam. Ia menilai, hal itu dapat memunculkan supremasi lain, seperti supremasi partai politik, supremasi TNI, supremasi Jawa, supremasi Papua, serta bentuk supremasi lainnya.

Ia juga mengajak Koalisi Masyarakat Sipil yang mengkritisi revisi UU TNI untuk tidak menggunakan istilah supremasi sipil.

"Saya sebagai orang sipil merasa tidak terwakili. Dari mana mahluk-mahluk yang disebut koalisi sipil ini mengkritik TNI? Nanti bisa saja muncul koalisi rakyat mendukung TNI melawan supremasi sipil, ini kacau," tegasnya.

Sebagai aktivis reformasi yang turut berperan dalam menurunkan Presiden Soeharto, Faizal mengaku miris dengan maraknya korupsi selama 27 tahun terakhir pasca-reformasi 1998. Ia menyoroti ribuan triliun utang luar negeri Indonesia, kasus BLBI, hingga proyek pagar laut yang diduga melibatkan pihak sipil.

Faizal membandingkan kondisi tersebut dengan masa kepemimpinan purnawirawan militer, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menurutnya mampu menjaga stabilitas demokrasi dan mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2 persen selama 10 tahun pemerintahannya.

Ia juga menilai ketakutan terhadap kembalinya Dwifungsi ABRI dalam revisi UU TNI sebagai hal yang tidak berdasar. Menurutnya, isu itu justru dibangun sebagai propaganda yang dapat membahayakan rakyat dan bangsa.

"Jadi saya ingin mengatakan kepada kawan-kawan koalisi masyarakat sipil, setop menggunakan sipil untuk menghantam polisi, menghantam tentara, dan menghantam lawan politik," ujar Faizal.

Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, turut menambahkan bahwa jabatan ganda dalam pemerintahan bukanlah hal baru di Indonesia.

“Ini biasa saja dan masih ada resonansi dengan fungsi dasar mereka. Misalnya dalam pengentasan narkoba, jangan hanya melihat pemberantasan narkoba dalam dimensi hukum dan politiknya. Jadi menurut saya, pembahasan dalam RUU TNI ini adalah hal yang sangat simpel,” ujar Margarito.

Margarito, yang pernah menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara, juga tidak mempermasalahkan jika Angkatan Darat mengelola Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Angkatan Laut mengelola Badan Keamanan Laut (Bakamla).

“Jujur saja, saya melihat dari sudut pandang saya bahwa tidak ada jalan kembali ke supremasi militer atau militerisasi. Kenapa? Karena tatanan institusi kita tidak memberikan ruang bagi TNI ke arah itu. Dalam UUD kita, TNI tidak berwenang untuk menetapkan kebijakan-kebijakan politik fundamental,” pungkas Margarito.(*).

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved