
Repelita, Jakarta - Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyatakan bahwa Surat Perintah Nomor: Sprin/85/II/2025 yang dikeluarkan oleh Komandan Kodim 032/Solok, Letkol Sapta Raharja, untuk melakukan penertiban terhadap Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Kabupaten Solok bertentangan dengan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004. Menurut Fahmi, penertiban tersebut seharusnya menjadi tugas Polri dan instansi terkait, bukan inisiatif sepihak dari TNI.
“Dalam Pasal 7 ayat (2) UU TNI, keterlibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) harus bersifat perbantuan, bukan inisiatif sepihak. Penertiban aktivitas ilegal seperti PETI lebih merupakan tugas Polri dan instansi terkait lainnya seperti Kementerian ESDM dan Dinas Lingkungan Hidup,” ujarnya di Jakarta, Jumat (21/2/2025).
Fahmi juga mempertanyakan penggerebekan yang dilakukan oleh Kodam Bukit Barisan pada 19 Februari 2025 terhadap 30 truk oli palsu di gudang yang berlokasi di Tanjung Selamet, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang, dan Kompleks Pergudangan Harmoni, Jl. Letda Sujono, Tembung, Kota Medan. Ia menilai tindakan tersebut seharusnya melibatkan kepolisian dan instansi terkait lainnya.
"Jika TNI bertindak langsung tanpa ada dasar perintah dari otoritas, ini bisa dianggap melampaui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang," kata Fahmi.
Ia menegaskan bahwa penegakan hukum, termasuk dalam kasus pemalsuan barang, adalah tugas Polri dan instansi terkait, seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Fahmi khawatir bahwa tindakan ini bisa dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan dan melanggar prosedur hukum.
Fahmi juga menyarankan agar keterlibatan TNI dalam penggerebekan atau penertiban seperti ini harus memiliki dasar hukum yang jelas dan perintah langsung dari Panglima TNI dalam konteks OMSP.
“Jika benar tidak ada perintah dari Panglima TNI, maka ini menunjukkan adanya inisiatif dari satuan teritorial (Kodim/Kodam) tanpa mekanisme perbantuan yang seharusnya. Hal ini bisa berbahaya,” tambahnya.
Menurut Fahmi, tindakan TNI yang melibatkan diri dalam masalah penegakan hukum bisa membahayakan karena dapat mengaburkan peran antara pertahanan dan keamanan dalam negeri, yang seharusnya dipisahkan pasca-reformasi. Ia juga menekankan bahwa keterlibatan TNI dalam penegakan hukum bisa melanggar supremasi sipil.
Senada dengan Fahmi, Indonesia Police Watch (IPW) meminta perhatian Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto untuk menertibkan aparaturnya yang melakukan intervensi dalam kewenangan yang bukan tupoksi TNI, yaitu penegakan hukum di Kabupaten Solok dan Medan.
Sugeng, perwakilan IPW, menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh TNI AD di Solok dan Medan melanggar dua aturan perundang-undangan, yakni pasal 30 UUD 1945 dan TAP MPR No VII tahun 2000. Sugeng menambahkan bahwa kepolisian seharusnya bertanggung jawab dalam hal penegakan hukum, sesuai dengan peran yang telah diatur dalam undang-undang.
“Oleh karena itu, Indonesia Police Watch (IPW) menilai bahwa apa yang dilakukan oleh TNI AD di Solok dan Medan bukan wilayah tugas dan perannya dan untuk menjaga tertib hukum di Indonesia maka 2 peristiwa intervensi penegakan hukum oleh aparatur TNI di Solok dan Medan tersebut harus melibatkan dan diserahkan kepada Polri,” ujar Sugeng.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

