Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) yang tengah berlangsung di Tangerang, Banten, menjadi sorotan publik dan memicu polemik di kalangan masyarakat setempat. Sejumlah warga yang terdampak penggusuran akibat proyek ini mengeluhkan tidak mendapat ganti rugi yang layak atau fasilitas yang sepadan. Tidak hanya itu, proyek ini juga mendapat kritik tajam dari beberapa pihak, termasuk mantan Sekretaris BUMN Said Didu, yang kini diduga dikriminalisasi setelah menyuarakan keberatannya terkait PSN PIK 2.
Menanggapi hal tersebut, Anthony Budiawan, Managing Director dari Political Economy and Policy Studies (PEPS), memberikan pandangannya tentang keberlanjutan PSN PIK 2 yang menurutnya telah melanggar beberapa ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Anthony mengungkapkan bahwa proyek-proyek strategis nasional, termasuk PIK 2, seharusnya mengikuti prosedur hukum yang jelas dan transparan.
Menurut Anthony, salah satu permasalahan utama adalah ketidaksesuaian penetapan PSN dengan tujuan utamanya, yakni kepentingan umum. "Apabila sebuah proyek strategis nasional tidak ditujukan untuk kepentingan umum, lantas untuk siapa proyek ini dikerjakan? Apakah hanya untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu? Kenapa diberi label ‘strategis’ dan ‘nasional’ jika tujuannya justru merugikan masyarakat, seperti mengusir mereka dari tempat tinggal yang sudah mereka huni selama bertahun-tahun?" ujarnya.
Dia menekankan bahwa dalam UU Cipta Kerja Pasal 173, disebutkan bahwa PSN seharusnya diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD). Namun, dalam prakteknya, PSN PIK 2 diduga diserahkan kepada pihak swasta, yang melanggar ketentuan tersebut. Anthony juga menyoroti bahwa aturan teknis terkait PSN dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional memberikan peluang bagi badan usaha swasta untuk mendapatkan fasilitas yang seharusnya hanya diberikan kepada pemerintah dan badan usaha milik negara atau daerah.
Anthony kemudian mengkritik proses evaluasi yang seharusnya dilakukan sebelum proyek ini ditetapkan sebagai PSN. Menurutnya, jika suatu proyek ingin diberi status PSN, harus ada proses pengajuan yang jelas dari menteri, kepala lembaga, atau kepala daerah kepada menteri terkait. "Siapa yang mengajukan status PSN untuk PIK 2 ini? Apakah ada hasil evaluasi yang dilakukan sebelum proyek ini diberi status strategis nasional?" tanya Anthony dengan penuh tanda tanya.
Selain itu, Anthony juga menyoroti masalah hak asasi manusia yang terjadi dalam penggusuran warga untuk memberi ruang bagi proyek PIK 2. "Pengusiran paksa warga dari rumah mereka, yang sudah menjadi tempat tinggal mereka selama bertahun-tahun, dengan alasan pembangunan PSN, jelas melanggar hak milik pribadi yang dilindungi oleh konstitusi," tegasnya. Dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dijelaskan bahwa setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi, dan hak tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Anthony menyatakan bahwa tindakan pemaksaan terhadap warga untuk menjual rumah atau lahan mereka tanpa pemberian kompensasi yang layak adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Lebih lanjut, Anthony menilai bahwa penetapan PSN untuk proyek seperti PIK 2 harus melalui kajian yang mendalam dan transparan untuk memastikan bahwa kepentingan publik dan warga yang terdampak tetap dilindungi. Dia menegaskan bahwa pengusiran warga tanpa solusi yang adil dan transparansi yang memadai hanya akan memperburuk citra proyek ini dan merugikan masyarakat. "Jika ada bukti pelanggaran hukum, baik terkait status PSN yang salah atau penggusuran yang tidak sah, maka semua pihak yang terlibat, termasuk pengembang dan pejabat yang terkait, harus bertanggung jawab," pungkas Anthony.(*)