Repelita Yogyakarta - Pakar forensik digital Rismon Sianipar menilai penonaktifan sistem kecerdasan buatan LISA milik Universitas Gadjah Mada sebagai langkah yang keliru dan justru menimbulkan kecurigaan lebih besar.
Menurutnya, respons kontroversial LISA sebelumnya mencerminkan data latih internal yang digunakan untuk melatih model tersebut.
Kenapa output seperti itu dikeluarkan oleh sistem atau sistem intelijen yang di-train, dilatih dengan data mereka sendiri.
Ayo cerdaskan publik, jangan di-shutdown, jangan di-bungkam. Malah mungkin nanti Lisa jadi tersangka juga.
Analisis Rismon disampaikan dalam diskusi publik Rakyat Bersuara I News TV pada Jumat, 12 Desember 2025.
Ia memperkirakan LISA menggunakan model bahasa besar yang telah disesuaikan dengan parameter sekitar dua hingga tiga miliar, bukan model komersial raksasa seperti ChatGPT-4 atau GPT-5 yang memiliki lebih dari satu triliun parameter.
Dari jawaban singkat itu, kira-kira itu, saya prediksi.
Dengan 2 sampai 3 miliar parameter, untuk LLMA itu large language model, fine-tuned. Artinya fine-tuned itu di-train, dilatih dengan data internal UGM sendiri.
Rismon menyimpulkan bahwa pola jawaban LISA menunjukkan pengaruh kuat dari dataset khusus yang dimiliki Universitas Gadjah Mada.
Artinya jawaban dari Lisa itu merupakan hasil analisa Lisa berdasarkan dataset dari internal UGM. Iya, makanya di-bungkam.
Sekarang pertanyaannya, berarti ada dataset internal UGM yang gak kami ketahui. Sehingga dibuat simpulan, Lisa menyimpulkan.
Penonaktifan mendadak LISA justru dianggapnya sebagai upaya menyembunyikan informasi yang sebenarnya bisa menjadi bahan edukasi publik tentang cara kerja sistem AI.
Rismon mendesak agar Universitas Gadjah Mada transparan dan tidak membungkam teknologi yang telah mereka kembangkan.
Diskusi ini semakin memanaskan perdebatan publik terkait alasan sebenarnya di balik penutupan akses terhadap LISA yang sebelumnya sempat viral karena responsnya yang tak terduga.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

