:strip_icc()/kly-media-production/medias/5163629/original/058837200_1742024202-25f9fce3-01a2-4995-8015-ee20285dd90a.jpg)
Repelita Jakarta - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Mayor Jenderal TNI Purnawirawan TB Hasanuddin, berpendapat bahwa kontroversi terkait penugasan personel Polri yang masih aktif ke posisi di luar institusi mereka seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat jika pemerintah benar-benar menerapkan regulasi yang ada.
Ia menjelaskan bahwa ketentuan pelarangan tersebut telah tercantum secara eksplisit dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sebetulnya tanpa putusan MK pun, kalau negara mengikuti aturan yang dibuatnya sendiri, tidak ada anggota Polri aktif yang boleh menjabat di ranah sipil.
Hal ini sangat tegas diatur dalam UU Nomor 2/2002, kata TB Hasanuddin melalui pernyataan resminya pada Jumat, 14 November 2025.
TB Hasanuddin menambahkan bahwa keputusan terbaru dari Mahkamah Konstitusi hanyalah penguatan ulang terhadap aturan yang melarang polisi aktif untuk mengisi jabatan di sektor sipil.
Putusan MK hanya mengulang dan mempertegas apa yang sudah ada dalam UU Kepolisian.
Artinya, pemerintah sejak awal wajib menaati larangan tersebut.
Namun kenyataannya, pemerintah tidak menjalankan ketentuan Pasal 28 UU 2/2002, tegasnya dalam keterangan tersebut.
TB Hasanuddin menilai bahwa sikap pemerintah yang tidak taat pada peraturan buatannya sendiri dapat menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat serta berisiko merusak fondasi profesionalitas kepolisian dan garis pemisah yang tegas antara badan penegak hukum dengan administrasi sipil.
Ini soal kepatuhan terhadap hukum.
Kalau undang-undang sudah tegas, ya harus dipatuhi.
Putusan MK menegaskan kembali bahwa aturan itu wajib dijalankan dan tidak bisa ditafsirkan secara bebas, pungkasnya sebagai penutup pernyataan.
Mahkamah Konstitusi telah mencabut ketentuan pengecualian yang dulunya mengizinkan anggota polisi untuk menduduki posisi di luar lingkup Polri, yang sering disebut sebagai jabatan sipil.
Keputusan ini diumumkan oleh para hakim konstitusi selama persidangan yang digelar di Jakarta pada Kamis, 13 November 2025.
Pasal 28 ayat 3 dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyatakan bahwa personel kepolisian diperbolehkan menempati jabatan eksternal hanya setelah mereka mengajukan pengunduran diri atau memasuki masa pensiun.
Dalam bagian penjelasan pasal tersebut, dijelaskan bahwa maksud dari jabatan di luar kepolisian adalah posisi yang tidak berkaitan sama sekali dengan urusan kepolisian atau tidak atas dasar perintah dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menteri Sekretaris Negara Prasetio Hadi menyatakan bahwa pihaknya akan menelaah keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengharamkan polisi aktif untuk mengemban tugas di lembaga sipil.
Sampai sekarang, Prasetio belum memperoleh dokumen resmi dari putusan itu.
Kita juga belum mendapatkan petikan keputusannya.
Nanti kalau kita sudah mendapat ya, nanti kita pelajari kan, ujar Prasetio dalam keterangannya.
Prasetio menekankan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat akhir sehingga mesti dilaksanakan sepenuhnya.
Tapi sebagaimana namanya keputusan MK ini kan final and binding.
Ya iyalah (dijalankan), sesuai aturan kan seperti itu, tambahnya.
Mengenai kewajiban mundur bagi pejabat dari kalangan Polri yang berada di kementerian atau badan lainnya, Prasetio mengatakan bahwa hal itu perlu dilakukan apabila regulasi memang mengharuskan demikian.
Ya kalau aturannya seperti itu, simpulnya singkat.
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian, Jimly Asshiddiqie, menegaskan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatasi anggota polisi aktif dari jabatan sipil bersifat mutlak dan harus ditaati oleh semua pihak terkait, termasuk dalam proses perbaikan struktur Polri.
Bukan soal positif negatif.
Ini putusan (MK) final dam mengikat, harus dilaksanakan apa adanya, termasuk dalam rangka reformasi Polri, kata Jimly pada Kamis, 13 November 2025.
Jimly memastikan bahwa kelompok kerjanya akan menggunakan keputusan tersebut sebagai acuan dalam melakukan kajian reformasi kepolisian.
Apalagi, Komisi Reformasi Polri telah diamanahi oleh Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kekurangan serta keunggulan dari lembaga Polri.
Putusan ini pasti harus dijadikan salah 1 rujukan untuk reformasi polri, paparnya lebih lanjut.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Inspektur Jenderal Sandi Nugroho, mengaku belum menerima salinan resmi dari keputusan Mahkamah Konstitusi.
Meski demikian, ia menjamin bahwa Polri akan menghargai segala bentuk keputusan yang telah dikeluarkan oleh lembaga tersebut.
Terima kasih atas informasinya, dan kebetulan kami juga baru dengar atas putusan tersebut.
Tentunya Polri akan menghormati semua putusan yang sudah dikeluarkan, ucap Sandi di Pusat Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan.
Saat ini, Polri masih menanti kedatangan dokumen resmi dari putusan Mahkamah Konstitusi.
Setelah itu, pihak kepolisian akan melakukan analisis mendalam sebelum mengambil sikap resmi.
Tentunya kalau memang sudah diputuskan dan kita sudah mempelajari apa yang sudah diputuskan tersebut, Polri akan selalu menghormati putusan pengadilan yang sudah diputuskan, jelasnya.
Sandi pernah menjelaskan bahwa penugasan anggota kepolisian aktif ke berbagai kementerian dan lembaga sebenarnya diatur secara khusus, yaitu berdasarkan Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang mengharuskan adanya persetujuan dari Kapolri.
Akan tetapi, ketentuan frasa tersebut kini telah dianulir melalui putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 114/PUU-XXIII/2025.
Namun demikian kita sudah mendengar ataupun kita sudah melihat ada putusan hari ini, kita tinggal menunggu seperti apa konkrit putusannya sehingga kami bisa melihat dan pelajari dan apa yang harus dikerjakan oleh kepolisian, tandas Sandi sebagai penutup.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

