
Repelita Jakarta - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini mengusulkan agar pengelolaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) diserahkan langsung kepada pihak sekolah bersama komite sekolah guna mencegah terulangnya kasus keracunan massal.
Ia menilai pengelolaan oleh sekolah akan lebih menjamin kualitas, higienitas, dan kesegaran makanan yang disajikan kepada para siswa.
Menurut Yahya, pihak sekolah lebih memahami karakter dan selera anak-anak didiknya sehingga dapat menyesuaikan menu yang diberikan.
Saat ini, MBG masih melibatkan mitra seperti yayasan dan UMKM untuk operasional dapur dan distribusi makanan.
Yahya menyarankan agar pengelolaan tetap bisa melibatkan pihak ketiga, namun dengan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola dan keamanan makanan.
Ia juga menyoroti rendahnya serapan anggaran Badan Gizi Nasional (BGN) untuk program MBG yang hingga September 2025 baru mencapai Rp13,2 triliun atau 18,6 persen dari total alokasi Rp71 triliun.
Padahal, pelaksanaan MBG diklaim telah menjangkau 38 provinsi dengan total penerima manfaat sebanyak 22 juta siswa.
Namun, angka tersebut belum dapat diverifikasi karena minimnya informasi publik yang tersedia.
Laporan dari Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa sejumlah menu MBG tidak mencapai nilai rata-rata Rp10 ribu per penerima manfaat.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah mengingatkan bahwa jika hingga akhir Oktober anggaran MBG tidak terserap, maka dana tersebut akan dialihkan untuk kebutuhan lain.
Yahya juga menyinggung pernyataan Kepala BGN Dadan Hindayana yang menyebut rendahnya serapan anggaran disebabkan oleh keraguan banyak pihak terhadap efektivitas program MBG.
Ia meminta BGN segera mencari alternatif pengelolaan agar target program unggulan Presiden Prabowo Subianto ini dapat tercapai.
Yahya menekankan pentingnya perbaikan mekanisme pelaporan anggaran MBG dan menyarankan agar BGN membuka kanal pengaduan publik untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Ia mengingatkan bahwa lemahnya pengawasan dan pelaporan dapat memperbesar risiko penyalahgunaan anggaran.
Program MBG yang digadang sebagai solusi pemenuhan gizi anak sekolah justru menimbulkan banyak persoalan, terutama kasus keracunan massal di berbagai daerah.
Sejak Januari hingga September 2025, tercatat sedikitnya 5.626 kasus keracunan di 17 provinsi.
Banyak daerah harus menanggung biaya perawatan korban di fasilitas kesehatan, sementara alokasi transfer ke daerah justru dipangkas dari Rp864,1 triliun dalam APBN 2025 menjadi Rp650 triliun dalam RAPBN 2026.
Kasus terbaru keracunan MBG terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan, serta di Garut, Tasikmalaya, dan Bau Bau Sulawesi Tenggara.
Muncul pula isu mengenai instruksi agar kasus-kasus keracunan MBG tidak dipublikasikan secara terbuka.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

