Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekretaris DPW PSI Jawa Barat, Sendi Fardiansyah, dalam diskusi publik bertajuk Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset yang digelar di Armor Genuine Urban Forest, Kota Bandung, belum lama ini.
Sendi menegaskan bahwa PSI mendorong percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset sebagai respons atas tuntutan masyarakat yang semakin besar terhadap penegakan hukum.
Ada momentum besar dari tuntutan masyarakat. Karena itu, kami ingin menyuarakan lebih kencang urgensi RUU ini, ujarnya.
Jadi wajar kalau masyarakat semakin muak, sampai muncul aksi-aksi besar di berbagai daerah. Lewat diskusi ini kami ingin mengawal agar penegakan hukum ke depan bisa lebih baik, lanjutnya.
Akademisi Universitas Padjadjaran, Dra. Mudiyati Rahmatunnisa, turut menyampaikan pandangannya bahwa RUU Perampasan Aset dapat menjadi terobosan dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia.
RUU ini memberi efek jera, tapi harus tetap menjaga hak asasi manusia, katanya.
Namun, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mengingatkan bahwa regulasi ini masih menyimpan potensi masalah.
Menurut kajiannya, RUU Perampasan Aset sangat rawan disalahgunakan dan bisa berbenturan dengan hukum yang berlaku.
Ada kontradiksi aturan, aset bisa diambil tanpa peradilan pidana. Ini rawan disalahgunakan, tegasnya.
Presiden BEM Unisba, Kamal Rahmatullah, juga menyampaikan pandangan bahwa RUU Perampasan Aset merupakan solusi atas lemahnya mekanisme penanganan tindak pidana korupsi.
Namun ia mengingatkan bahwa regulasi ini bisa menjadi dua mata pisau.
Di sisi lain bisa memberi efek jera, tapi bisa menjadi alat kekuasaan, ujarnya.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bob Hasan, menegaskan bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset akan dilakukan oleh Komisi III DPR RI.
RUU tersebut telah resmi masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025–2026, bersama 51 rancangan dan revisi undang-undang lainnya yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa, 23 September 2025.
Politisi Fraksi Partai Gerindra itu menjelaskan bahwa waktu dimulainya pembahasan, target penyelesaian, serta substansi RUU akan ditentukan sepenuhnya oleh Komisi III DPR RI.
Ia memastikan bahwa prinsip partisipasi bermakna akan dikedepankan dalam proses pembahasan.
Tidak boleh ada pembahasan tertutup, katanya.
RUU Perampasan Aset pertama kali dibahas pada masa pemerintahan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Saat itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadi inisiator dan menyerahkan draf kepada Presiden SBY pada tahun 2009.
Draf pertama berhasil disusun pada 2012, namun tidak ditindaklanjuti hingga akhir masa pemerintahan SBY.
Di era Presiden Joko Widodo, RUU ini sempat masuk dalam Prolegnas jangka menengah tahun 2015, tetapi tidak pernah dibahas karena tidak masuk daftar prioritas.
Pada 2019, draf kedua selesai disusun dan Presiden Jokowi mengusulkan agar RUU ini masuk dalam Prolegnas tahun 2020, namun usulan tersebut ditolak.
Puncaknya, pada Mei 2023, Presiden Jokowi mengeluarkan surat presiden kepada DPR untuk segera membahas RUU Perampasan Aset.
Meski demikian, hingga akhir masa pemerintahan Jokowi pada Oktober 2024, RUU ini belum juga dibahas lebih lanjut.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

