Repelita Jakarta - Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong terus memicu perdebatan di tengah masyarakat dan kalangan pegiat antikorupsi.
Salah satu suara lantang datang dari mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, yang menyatakan secara terbuka bahwa ia merasa kecewa dan prihatin mendengar kebijakan abolisi tersebut digunakan untuk perkara korupsi.
Novel menegaskan bahwa langkah Presiden menghentikan proses hukum melalui hak prerogatif di tengah dugaan tindak pidana korupsi justru bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini digaungkan.
Menurut Novel, dalam perkara yang menjerat Tom Lembong, seharusnya sejak awal proses di pengadilan dapat membuktikan ketiadaan unsur pidana, sehingga hakim dapat memutuskan bebas tanpa perlu campur tangan politik berupa abolisi.
Ia mempertanyakan logika di balik penyelesaian kasus lewat jalur politik apabila memang tidak ada bukti yang menguatkan dakwaan korupsi terhadap Tom Lembong.
“Jika memang tidak terbukti bersalah, kenapa bukan pengadilan yang memutus bebas? Kenapa justru diselesaikan lewat jalur politik dengan hak abolisi? Ini yang mengkhawatirkan,” kata Novel.
Novel menyoroti bahwa pola semacam ini dapat membuka celah baru bagi penyelesaian perkara korupsi secara politis, padahal korupsi adalah kejahatan berat yang mengkhianati negara dan harus diselesaikan melalui jalur hukum yang murni.
Ia mengingatkan bahwa pendekatan politis akan menjadi preseden buruk di tengah situasi di mana praktik korupsi kian merajalela, sementara lembaga penegak hukum seperti KPK justru dinilai dilemahkan oleh berbagai kebijakan dan intervensi politik.
Novel juga menyampaikan kekhawatirannya bahwa apabila jalur penyelesaian hukum yang tidak semestinya ini diteruskan, maka pejabat negara ataupun profesional yang bekerja dengan benar tetap memiliki potensi menjadi korban kriminalisasi di kemudian hari.
Ia mendesak agar Presiden bersama DPR RI lebih memprioritaskan penguatan KPK dan memastikan penegakan hukum berjalan pada rel yang benar, bukan justru mengambil alih kewenangan pengadilan dengan kebijakan abolisi yang sarat kompromi politik.
“Yang seharusnya dilakukan adalah memperkuat KPK. Bukan malah membiarkan KPK tetap lemah dan memilih menyelesaikan perkara lewat abolisi,” ujar Novel.
Diketahui, pemberian abolisi terhadap Tom Lembong ini telah mendapatkan persetujuan DPR RI melalui rapat konsultasi antara pemerintah dan parlemen pada 27 Juli 2025.
Meski demikian, perdebatan di ruang publik masih jauh dari kata selesai, sebab kebijakan tersebut dinilai menguji komitmen pemerintahan Prabowo Subianto di mata rakyat dalam urusan pemberantasan korupsi.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok