Repelita Malang - Ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu, David Stefan, menyampaikan keberatannya atas fatwa haram terhadap sound horeg yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.
Ia meminta agar fatwa tersebut tidak diterapkan secara menyeluruh tanpa pengecualian.
“Jangan dipukul rata, yang salah, ya dibina, bukan langsung dihentikan semua,” ujar David pada Senin, 14 Juli 2025.
David yang juga pemilik Blizzard Audio mengatakan bahwa dirinya menghormati keputusan ulama, terlebih sebelumnya para pelaku usaha telah diajak berdiskusi oleh MUI.
Ia menegaskan bahwa pihaknya hanya penyedia jasa, bukan penyelenggara acara, dan hanya memenuhi permintaan masyarakat.
Setelah memberikan penjelasan, pihak MUI disebutnya mulai memahami posisi penyedia jasa seperti mereka.
Menurut David, kegiatan sound horeg tak sepenuhnya berdampak negatif.
Ia menyebut banyak kontribusi sosial yang dilakukan komunitasnya, mulai dari santunan anak yatim, pembangunan masjid, pembelian ambulans, hingga pemberdayaan UMKM dan sektor pariwisata.
Terkait kebisingan, ia menyampaikan bahwa di sejumlah daerah telah ada kesepakatan lokal untuk mengatur hal itu, termasuk mitigasi jika menimbulkan gangguan terhadap masyarakat.
“Biasanya ada MOU-nya di masyarakat,” jelasnya.
Namun, ia juga tidak menampik adanya praktik yang perlu dievaluasi, seperti penampilan penari berpakaian terbuka.
Karenanya, David berharap agar penerapan fatwa ini dilakukan secara selektif dan tidak menyasar seluruh aktivitas sound horeg.
Di sisi lain, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jatim, Sholihin Hasan, menyatakan bahwa fatwa haram itu diterbitkan setelah adanya permohonan dari masyarakat yang disertai tanda tangan 828 orang.
Permohonan tersebut berkaitan dengan keresahan terhadap fenomena sound horeg yang dianggap mengganggu lingkungan.
MUI Jatim kemudian menggelar forum diskusi melibatkan berbagai pihak, termasuk pengusaha sound, tokoh masyarakat, serta dokter spesialis THT.
Sholihin menjelaskan bahwa sound horeg umumnya menggunakan sistem audio dengan intensitas tinggi, terutama frekuensi rendah atau bass, dan sering digunakan dalam kegiatan hiburan keliling.
Tingkat kebisingan dalam adu sound bahkan disebut bisa mencapai 120–135 desibel, jauh melebihi batas aman WHO yang hanya 85 desibel.
“Kalau menimbulkan mudarat—baik terhadap kesehatan, ketertiban umum, maupun merusak nilai syariat—maka hukumnya haram,” tegasnya.
MUI Jatim memberikan pengecualian bahwa sound horeg tidak diharamkan secara mutlak, melainkan jika penggunaannya berlebihan dan melanggar nilai agama.
Penggunaan dalam kegiatan positif seperti pengajian, salawatan, dan resepsi pernikahan masih diperbolehkan selama dilakukan secara wajar.
MUI juga mendorong pendekatan edukatif dan penertiban daripada sekadar pelarangan.
Sholihin menambahkan bahwa teknologi audio dapat memberikan manfaat jika dimanfaatkan dengan cara yang benar dan tidak menyebabkan pemborosan maupun kerugian bagi orang lain.
David dan komunitasnya berharap ada solusi jalan tengah.
Mereka membuka diri untuk dibina dan berharap pemerintah serta ulama memberi aturan yang jelas, bukan langsung menutup seluruh aktivitas mereka.
“Kami terbuka untuk dibina, diberi aturan main yang jelas, tetapi jangan semua langsung dimatikan,” pungkas David. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

