Repelita Yogyakarta - Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid, melayangkan kritik terhadap kalangan kampus yang dinilainya membisu menghadapi pelanggaran kebebasan akademik dan berekspresi.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam sebuah diskusi publik bertema penindasan terhadap pihak yang berseberangan dengan pemerintah, yang digelar oleh mahasiswa UII pada Senin, 30 Juni 2025.
Diskusi tersebut menjadi respons atas meningkatnya intimidasi terhadap mahasiswa, termasuk tiga mahasiswa UII yang mendapat tekanan setelah menggugat Revisi UU TNI ke Mahkamah Konstitusi.
Fathul menegaskan dukungannya terhadap ketiganya dan telah memberikan bantuan hukum untuk mendampingi proses mereka.
Ia mengungkapkan bahwa banyak dosen dan mahasiswa justru memilih diam karena tenggelam dalam kenyamanan administratif dan program-program kampus yang menyita energi.
Menurutnya, ketidakpekaan ini disebabkan oleh kondisi yang sengaja diciptakan agar para intelektual kampus tidak bersikap kritis.
"Lantaran merasa nyaman dan terus mendapat hibah, kampus kini kehilangan keberaniannya untuk bersuara," ujar Fathul.
Dia menilai, dalam situasi saat ini, kampus lebih banyak disibukkan urusan teknis dibandingkan membangun nalar kritis yang dibutuhkan dalam demokrasi.
Fathul menekankan bahwa para akademisi memiliki tanggung jawab besar dalam membangun narasi yang berpihak pada keadilan dan kemanusiaan.
Ia menyebut banyak pimpinan kampus enggan menyatakan sikap karena khawatir berdampak pada anggaran maupun posisi jabatan.
Padahal, kata dia, kampus harus menjadi tempat yang menjamin kebebasan berpikir dan menyuarakan aspirasi rakyat.
“Demokrasi hari ini bersifat semu, rakyat seolah diberi ruang bicara tapi suaranya tak pernah sungguh didengar,” tegasnya.
Fathul juga mendorong agar kritik yang disampaikan oleh kalangan intelektual didasarkan pada penelitian dan fakta yang tervalidasi.
Menurutnya, dengan cara itu, suara akademisi akan memiliki bobot dan tak mudah dipatahkan.
Ia pun mengingatkan bahwa diamnya kampus dalam menghadapi ketidakadilan hanya akan memperkuat praktik otoritarianisme.
“Jika intelektual bungkam, maka demokrasi hanya tinggal nama,” tandasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok.

