Repelita Jakarta - Mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto menyatakan Forum Purnawirawan TNI akan menduduki Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila surat usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden tidak kunjung direspons.
Slamet mengatakan pihaknya telah melakukan pendekatan dengan cara yang sopan.
Namun, mereka tidak mendapatkan timbal balik yang semestinya.
Kalau sudah kita dekati dengan cara yang sopan, tapi diabaikan, nggak ada langkah lagi selain ambil secara paksa.
Kita duduki MPR Senayan sana.
Oleh karena itu, saya minta siapkan kekuatan.
Dorongan terhadap MPR RI untuk memproses pemakzulan Gibran terus disuarakan Forum Purnawirawan TNI.
Mereka menyebut keterpilihan Gibran sebagai buah dari konsensus politik yang dipaksakan.
Mereka menilai proses pencalonannya bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan elektoral.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan juga mengeluhkan purnawirawan lain yang tidak sejalan dengan forum tersebut.
Tujuan memakzulkan Gibran diklaim bertujuan menyelamatkan bangsa dan negara.
Tadi sudah disampaikan tentang semangat dari kita, Forum Purnawiran Prajurit TNI.
Saya hanya menambahkan, bahwasanya Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu beda sama purnawirawan TNI yang menyalah-nyalahkan kita.
Padahal kita sumbernya sama.
Kita digodok di tempat yang sama, tapi begitu kita ngomong yang benar, sana bilang itu di luar formasi kita.
Ia menyebut bahwa saat ini posisi mereka memang berbeda.
Satu pihak takut digusur, sementara lainnya ingin menggusur.
Nggak apa-apa, memang beda sekarang jadinya.
Mana yang takut digusur, mana yang mau menggusur.
Namun ia menegaskan bahwa Forum Purnawirawan TNI tegak lurus dengan Sapta Marga Prajurit.
Jadi kita tenang-tenang saja, tidak ada masalah.
Hanya tolong nanti kalau ditanya sama beliaunya, ya kita garis lurus sama Sapta Marga Prajurit, dan politik kita adalah politik kenegaraan, bukan politik kekuasaan.
Hanafie menegaskan bahwa jika pun pihaknya berada di luar pemerintahan, itu bukan berarti memusuhi pemerintah.
Secara konstitusional, mekanisme pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal itu menyatakan bahwa pemakzulan hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran hukum.
Pelanggaran yang dimaksud meliputi pengkhianatan terhadap negara, korupsi, suap, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
Ketentuan ini menegaskan bahwa prosedur pemakzulan tidak dapat ditempuh secara sewenang-wenang.
Harus ada pembuktian hukum yang kuat dan berlandaskan konstitusi.
Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona, menilai wacana pemakzulan Gibran tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan konstitusional yang ketat.
Menurutnya, pendekatan hukum yang sah harus dimulai dari DPR melalui panitia angket atau gugatan ke PTUN atas dasar pencalonan yang dianggap tidak sah.
Dua jalur itu membuka ruang pembuktian atas dugaan manipulasi dan pelanggaran syarat usia dalam pencalonan Gibran.
Proses pemakzulan hanya sah jika berangkat dari fondasi hukum yang kuat, bukan sekadar ketidakpuasan politik.
Jika memang terbukti, itu bisa jadi dasar impeachment karena menyangkut syarat konstitusional.
Tapi tetap harus dibuktikan secara hukum, bukan sekadar tekanan politik. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok