Repelita Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra memberikan klarifikasi terkait pernyataannya mengenai MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.
Pernyataan ini disampaikan menyusul memanasnya isu sengketa kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara.
Empat pulau yang dimaksud adalah Lipan, Panjang, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek.
Pada hari yang sama, Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas memutuskan bahwa keempat pulau tersebut menjadi bagian dari wilayah Aceh.
Rapat tersebut juga dihadiri Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution.
Menanggapi situasi itu, Yusril menyampaikan klarifikasi bahwa MoU Helsinki maupun UU 24/1956 tidak bisa dijadikan rujukan utama dalam penentuan batas wilayah empat pulau tersebut.
Ia meminta masyarakat Aceh tidak salah menafsirkan ucapannya.
“Tidak seorang pun di negara ini yang menafikan peranan MoU Helsinki sebagai titik tolak penyelesaian masalah Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah RI,” kata Yusril saat berbicara dalam pertemuan bersama tokoh masyarakat Indonesia di Sydney, Australia.
Yusril mengungkapkan dirinya pernah terlibat dalam diskusi pemerintah RI bersama Tim Perunding dalam menyepakati MoU Helsinki.
Kala itu, ia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara.
Ia juga terlibat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh bersama DPR bersama Menteri Dalam Negeri saat itu, Mohammad Ma’ruf.
Menurutnya, semangat MoU Helsinki sangat ia pahami, tetapi tetap tidak memuat penjelasan soal empat pulau yang disengketakan.
“Baik MoU Helsinki maupun UU 24/1956 hanya memuat daftar kabupaten dalam Provinsi Aceh. Tidak ada satu kata pun menyebutkan keempat pulau tersebut,” jelasnya.
Yusril menambahkan, dasar hukum penentuan batas wilayah administrasi harus merujuk pada UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang itu menyebut bahwa batas daerah harus ditetapkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri.
“Itu kalau UU tentang pembentukan provinsi, kabupaten dan kota yang baru tidak menentukan secara jelas batas-batas koordinat daerah yang dimekarkan itu. Itu inti penjelasan saya,” tegas Yusril.
Ia mengaku heran ada pihak yang menuduhnya tidak menghormati MoU Helsinki.
“Saya sangat heran ada sementara pihak yang menuduh diri saya tidak menghargai MoU Helsinki dan berbagai kecaman lainnya,” ujarnya.
Sebelumnya, Yusril menegaskan bahwa meskipun UU 24/1956 menjadi dasar pembentukan Kabupaten Aceh Singkil hasil pemekaran Aceh Selatan tahun 1999, tetapi undang-undang tersebut tetap tidak menyebut keempat pulau tersebut.
“Keempat pulau yang dipermasalahkan antara Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara sekarang ini tidak sepatah katapun disebutkan baik dalam UU 24/1956 maupun dalam MoU Helsinki. Karena itu saya mengatakan bahwa MoU Helsinki dan UU 24/1956 tidak bisa dijadikan sebagai referensi utama penyelesaian status empat pulau yang dipermasalahkan,” tutupnya sesaat sebelum keputusan Presiden diumumkan. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok