Repelita Jakarta - Isu mengenai keaslian ijazah Rismon Sianipar kembali jadi sorotan publik setelah muncul keraguan dari berbagai pihak.
Rismon, yang selama ini dikenal kritis terhadap Presiden Jokowi dalam perkara serupa, kini justru tersandung tudingan serupa terkait dokumen akademiknya sendiri.
Keraguan itu muncul setelah seorang peneliti sistem informasi yang bermukim di Jepang, Rony Teguh, melakukan perbandingan antara ijazah milik Rismon dengan ijazah lulusan Universitas Yamaguchi lainnya.
Hasil perbandingan itu menunjukkan adanya sejumlah kejanggalan.
Mulai dari warna kertas yang tampak tidak sesuai standar, hingga format transkrip nilai dan keberadaan tesis yang dianggap tidak wajar.
Rony menyebut bahwa temuan itu menimbulkan dugaan kuat bahwa dokumen tersebut tidak sesuai dengan standar akademik kampus asalnya.
Di saat bersamaan, pakar digital forensik Josua M. Sinambela juga ikut menyoroti perkara ini.
Ia bahkan melakukan analisis mendalam dan membandingkan langsung antara ijazah Rismon dengan dokumen milik lulusan resmi Yamaguchi.
Menurut Josua, terdapat perbedaan mencolok yang sulit dijelaskan secara logis.
Rismon pun mencoba membela diri.
Ia tetap mengklaim punya hak sebagai peneliti independen untuk mengkritisi keabsahan ijazah tokoh publik seperti Presiden Jokowi.
Namun, posisi Rismon justru semakin terpojok setelah bukti kejanggalan pada dokumen miliknya makin meluas.
Netizen pun mulai melontarkan komentar sinis di media sosial.
Beberapa menyebut, “Kalau mau bongkar ijazah orang lain, pastikan dulu ijazah sendiri bersih.”
Yang lain menulis, “Rismon Sianipar kena batunya sendiri. Ternyata ijazahnya juga meragukan.”
Di tengah gempuran isu tersebut, Rismon sempat menyuarakan tuntutan kepada Presiden Prabowo agar segera membebaskan Bambang Tri.
Bambang Tri adalah narapidana yang pernah dipidana karena menyebarkan hoaks terkait ijazah Presiden Jokowi.
Langkah ini dinilai sebagian pihak sebagai upaya Rismon untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah yang menjerat dirinya.
Kasus ini pun menyita perhatian luas.
Rony Teguh mengingatkan bahwa kredibilitas akademik merupakan hal mendasar dalam dunia keilmuan dan harus dijaga dengan transparansi.
Sementara Josua Sinambela menegaskan bahwa forensik digital bukan sekadar alat pembuktian terhadap orang lain, tapi juga bisa berbalik menilai si pengkritik.
Di sisi lain, masih ada pendukung Rismon yang meyakini bahwa tuduhan ini adalah bagian dari serangan balik terhadap pihak-pihak yang berani mengkritik penguasa.
Namun, dengan semakin banyaknya data teknis yang menunjukkan kejanggalan dokumen akademik Rismon, suara publik pun mulai berubah.
Sebagian besar mulai mempertanyakan keabsahan status Rismon sebagai ahli yang kredibel.
Kini masyarakat menanti langkah hukum atau klarifikasi resmi dari pihak Universitas Yamaguchi ataupun lembaga yang mengesahkan ijazah tersebut.
Apakah Rismon Sianipar mampu membuktikan keaslian ijazahnya secara meyakinkan?
Ataukah ia akan mengalami nasib serupa dengan Bambang Tri dalam menghadapi konsekuensi hukum atas tuduhan palsu?
Semua masih dalam proses, dan publik akan terus memantau perkembangannya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

