Repelita Jakarta - Pernyataan Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Cahya Hardianto Harefa, soal gaji kecil sebagai penyebab kepala daerah korupsi, menuai kecaman dari berbagai pihak.
Salah satunya datang dari kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Umar Hasibuan, yang menilai pernyataan itu sangat tidak layak disampaikan oleh pejabat lembaga antirasuah.
"Sudah tahu gaji kecil, kenapa masih mau jadi kepala daerah? Ini ucapan paling goblok sejak KPK berdiri," tulis Umar di akun X miliknya pada 25 Juni 2025.
Tak berhenti di situ, Umar juga menyinggung kualitas KPK pasca-pemecatan Novel Baswedan dan tim penyidik independennya beberapa tahun lalu.
"Makanya saya bilang, sejak KPK RI memecat Mas Novel Baswedan and teams, KPK ini sudah seperti sampah. Ngabisin duit rakyat saja buat gaji mereka," tambahnya.
Umar bahkan menyarankan agar KPK dibubarkan dan penanganan kasus korupsi dialihkan sepenuhnya kepada Kejaksaan RI.
"Bubarkan KPK, biar korupsi yang kerja Kejaksaan RI!" tandasnya.
Usulan KPK untuk menaikkan gaji kepala daerah demi mencegah praktik rasuah menjadi topik hangat dalam diskursus publik belakangan ini.
Isu ini muncul tak lama setelah Presiden Prabowo menaikkan gaji para hakim hingga 280 persen dengan alasan serupa, yakni untuk menutup celah kecurangan.
Namun, politikus PDIP, Ferdinand Hutahaean, menilai bahwa usulan tersebut tidak layak dijadikan pertimbangan serius.
"Kalau kita bandingkan dengan negara lain, dengan negara yang gajinya hampir sama dengan kita, tapi mereka takut korupsi," ucap Ferdinand.
Ia mengakui bahwa gaji bisa menjadi faktor, namun bukan penyebab utama korupsi di Indonesia.
"Yang paling kendala di kita adalah biaya politik yang tinggi, itu penyebab korupsi liar di mana-mana," ujarnya.
Ferdinand menjelaskan bahwa untuk menjadi kepala daerah, seseorang harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar, bahkan bisa mencapai ratusan miliar untuk wilayah kota besar.
"Dari mana kembalinya duit itu kalau tidak mengambil bagian dari cawe-cawe APBD," kata dia.
Menurutnya, jika pemerintah serius ingin menekan korupsi, maka yang harus dibenahi pertama adalah sistem demokrasi yang mahal.
"Harus ditangani dulu, bagaimana kita menciptakan demokrasi yang murah. Sehingga yang berkualitas nanti akan terpilih," sebutnya.
Ferdinand menambahkan bahwa selain gaji, kepala daerah juga sudah mendapatkan dana operasional untuk mendukung aktivitas mereka.
"Saya pikir itu bisa cukup kalau biaya demokrasinya murah," imbuhnya.
Namun karena biaya politik sangat mahal, maka kompromi politik dengan para penyumbang pun menjadi tak terhindarkan.
"Di situ orang yang menyumbang juga akan mendapat bagian proyek secara ilegal. Kemudian kepala daerahnya juga akan mencari bagian dari APBD itu secara ilegal. Itu sudah pasti," tegasnya.
Ferdinand menutup pernyataannya dengan kritik pedas terhadap KPK yang menurutnya hanya berfokus pada isu gaji tanpa membenahi akar persoalan.
"KPK mampu tidak? Masalahnya demokrasi kita juga korup tapi KPK apa yang dilakukan? Gak ada, mulut KPK diam aja, gak ada gunanya memang KPK itu," tandasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok