Repelita Jakarta - Pemerintah disorot karena dinilai belum sepenuhnya menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pendidikan dasar gratis.
Putusan MK menyatakan bahwa negara wajib menjamin pendidikan dasar tanpa pungutan, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Namun, implementasi dalam aturan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 belum menunjukkan perubahan signifikan.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai regulasi SPMB 2025 belum mewajibkan pemerintah daerah untuk menanggung biaya siswa sekolah swasta.
"Kalau hanya memberi bantuan, itu sudah dilakukan sejak dulu dan dinyatakan inkonstitusional. Pemerintah harus membiayai penuh," ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji.
Menurut Ubaid, aturan saat ini masih membuka peluang ketidakadilan bagi anak-anak yang gagal masuk sekolah negeri.
Frasa 'tanpa dipungut biaya' dalam Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas, katanya, tidak bisa dimaknai parsial atau simbolik.
Putusan MK mewajibkan negara menjamin pembiayaan bagi semua siswa pendidikan dasar, tanpa kecuali.
Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 juga menguatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang dibiayai oleh negara.
Pemerintah sendiri masih merumuskan tindak lanjut atas putusan MK tersebut.
Menteri Koordinator PMK Pratikno menyebut pihaknya akan mengadakan rapat tingkat menteri guna membahas kebijakan lintas kementerian.
Ia menyebut tim teknis dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Agama telah mulai menyusun langkah-langkah konkret.
Pratikno memastikan bahwa pemerintah akan mengawal dan memantau progres pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis ini.
Putusan MK pada 27 Mei 2025 menegaskan bahwa pendidikan dasar sembilan tahun wajib diberikan tanpa pungutan.
MK menyatakan bahwa pasal dalam UU Sisdiknas akan dianggap konstitusional jika dimaknai bahwa pemerintah dan pemda wajib membiayai seluruh jenjang pendidikan dasar, termasuk sekolah swasta.
Namun, pelaksanaan SPMB 2025 justru memunculkan polemik baru.
JPPI menilai sistem penerimaan masih bermasalah, diskriminatif, dan membuka ruang praktik kecurangan.
Ubaid menyebut sistem ini tetap memberi celah terjadinya jual beli kursi dan pungutan liar karena ketimpangan antara permintaan dan ketersediaan kursi di sekolah negeri.
Ia mendesak pemerintah untuk segera menyesuaikan kebijakan agar tidak bertentangan dengan putusan MK dan amanat konstitusi.
"Kalau tidak segera diubah, artinya negara gagal melindungi hak anak atas pendidikan yang setara," tegas Ubaid. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok