
Repelita Yogyakarta - Sebuah pertemuan singkat di utara Fakultas Teknik UGM membuka kembali perdebatan soal riwayat akademik Presiden Joko Widodo.
Rismon Hasiolan Sianipar mendatangi Kasmudjo, pensiunan dosen Fakultas Kehutanan, untuk menanyakan langsung statusnya sebagai pembimbing skripsi Jokowi.
“Itu salah! Nah itu yang salah!” ujar Kasmudjo tegas dalam wawancara yang tayang di kanal YouTube Balige Academy, Sabtu 14 Juni 2025.
Kasmudjo membantah keras bahwa dirinya adalah dosen pembimbing akademik maupun skripsi Presiden Jokowi.
Ia menuturkan bahwa pada tahun 1980, dirinya belum memiliki pangkat yang memungkinkan menjadi pembimbing skripsi.
“Harus di atas 50 tahun untuk jadi pembimbing skripsi, saya saat itu baru pangkat 3B,” jelasnya.
“Saya bukan dosen pembimbing akademik. Saya tahu itu tidak boleh. Masih muda.”
Pernyataan Kasmudjo diperkuat oleh sang istri yang turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Pernyataan ini menjadi sorotan setelah sebelumnya, dalam sebuah wawancara televisi tahun 2017, Presiden Jokowi menyebut nama Kasmudjo sebagai pembimbing skripsinya.
Kini, pernyataan itu dipertanyakan kembali setelah Kasmudjo memberikan klarifikasi berbeda.
Reaksi pun bermunculan di media sosial.
Salah satu yang paling vokal adalah Dokter Tifa melalui akun X-nya.
“Sedih sekali ya Allah. Beliau pensiunan dosen, badannya kurus karena depresi. Di tahun 2017 dipaksa mengaku sebagai dosen pembimbing skripsi.”
Ia menyebut Kasmudjo tampak depresi dan ketakutan saat menerima kedatangan Rismon.
“Kasihannya, ketakutan sekali didatangi Pak Rismon. Seperti dikejar dosa. Tua renta, dikejar rasa bersalah karena mau saja disuruh bohong.”
Ia bahkan menyinggung gugatan Rp1.000 triliun terhadap Kasmudjo di Pengadilan Negeri Sleman karena dianggap memberikan keterangan palsu.
“Ada ya orang yang dengan kekuasaannya mencelakakan orang lain...” tulisnya.
Sorotan publik kini mengarah pada UGM.
Masyarakat mempertanyakan arsip akademik yang seharusnya tersimpan rapi, termasuk siapa sebenarnya pembimbing skripsi Presiden.
Rismon menyatakan bahwa klarifikasi ini bukan akhir, melainkan awal dari penyelidikan lebih mendalam.
Ia bertekad menelusuri jejak akademik Jokowi hingga ke sumber-sumber primer, termasuk koran Kedaulatan Rakyat edisi 18 Juli 1980.
“Kami tidak mau dibungkam. Ini demi sejarah Indonesia,” tegasnya.
Sementara itu, UGM belum memberikan pernyataan resmi.
Di kanal YouTube Refly Harun, warganet memenuhi kolom komentar dengan simpati dan dorongan moral untuk Kasmudjo.
Publik mendesak adanya klarifikasi institusional demi transparansi sejarah pendidikan nasional.
Di tengah hiruk pikuk ini, warung kecil milik Kasmudjo di pinggir Selokan Mataram kini menjadi saksi bisu dari pergulatan panjang narasi dan kebenaran.
Pengakuan Kasmudjo menjadi titik awal babak baru dalam pencarian jawaban atas kisah akademik pemimpin negeri ini. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

