
Repelita Jakarta - Polemik mengenai status kepemilikan empat pulau di perairan barat Sumatra kembali menjadi perhatian.
Pemerintah Provinsi Aceh menyampaikan keberatan atas penetapan administrasi pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan penjelasan mengenai kronologi keputusan itu.
Ia mengatakan bahwa penetapan wilayah tidak dilakukan secara sepihak, tetapi melalui proses panjang yang melibatkan sejumlah lembaga lintas sektor.
Pada tahun 2017, Tim Pembakuan Nama Rupa Bumi yang terdiri dari Kemendagri, BIG, LAPAN, BRIN, KKP, dan sejumlah instansi lain menggelar rapat penetapan.
Hasilnya, empat pulau tersebut ditetapkan sebagai bagian dari wilayah administrasi Sumatera Utara.
"Keputusan ini bukan tanpa kajian. Data dan masukan dari berbagai pihak telah menjadi dasar dalam menyimpulkan keempat pulau itu masuk Sumatera Utara," ujar Tito.
Ia mengungkapkan bahwa kajian utama berasal dari proses verifikasi yang dilakukan pada 2008.
Saat itu, data pemetaan menunjukkan bahwa keempat pulau tidak termasuk dalam wilayah Aceh.
"Nama pulaunya ada, tapi posisi koordinatnya menunjukkan gugusan Pulau Banyak di sebelah barat Kabupaten Aceh Singkil," terang Tito.
Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf, tidak mencantumkan empat pulau tersebut dalam peta wilayah Aceh.
Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin, memasukkan pulau-pulau itu sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah.
"Ada dokumen resmi tahun 2008 dan 2009 yang menunjukkan klaim dari Sumut. Dari Aceh tidak ada dokumen administratif yang rinci," tegas Tito.
Ia mengatakan, Pemerintah Aceh pernah mengajukan keberatan atas hasil verifikasi 2008 tersebut.
Namun, pengajuan itu tidak dilengkapi data koordinat geografis yang akurat.
Bahkan ditemukan kesalahan dalam penempatan letak koordinat.
Karena itu, pengajuan keberatan tidak bisa dijadikan dasar untuk revisi keputusan.
"Karena tidak ada koordinat yang valid, maka keputusan tahun 2017 tetap berlaku. Empat pulau itu masuk wilayah Sumatera Utara," ujarnya.
Kendati demikian, Tito menegaskan bahwa pemerintah pusat tetap membuka ruang untuk dialog.
Jika terdapat bukti-bukti baru yang kuat, maka proses verifikasi dapat dibuka kembali. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

