
Repelita Jakarta - Isu dugaan ijazah palsu yang menyeret mantan Presiden Joko Widodo kembali mencuat setelah Marwan Batubara, aktivis senior dan mantan anggota DPR, menyerukan penegakan hukum yang jujur dan terbuka.
Bersama Tim Pembela Ulama dan Aktivis serta Petisi 100, Marwan mendesak Presiden Prabowo Subianto segera mengambil langkah tegas terhadap indikasi pelanggaran hukum yang dinilai mencoreng integritas negara.
Dalam sejumlah pernyataannya, Marwan menilai dugaan pemalsuan ijazah bukan sekadar urusan administratif, tetapi menyangkut prinsip keadilan publik dan kehormatan konstitusi.
Ia menduga ada upaya sistematis untuk menyembunyikan skandal tersebut dengan melibatkan beberapa institusi besar dan tokoh-tokoh elit.
Transparansi dan keterbukaan menjadi sorotan utama.
Marwan mengingatkan bahwa Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik memberikan hak kepada rakyat untuk mengetahui latar belakang pendidikan pejabat negara.
“Dalam sistem demokrasi, rakyat tidak hanya memilih pemimpinnya, tapi juga berhak tahu siapa yang mereka pilih. Bila ijazah seorang presiden diragukan, negara wajib membuktikan keasliannya secara terbuka,” kata Marwan dalam konferensi pers 25 Juni 2025.
Ia juga menyoroti kejanggalan pada proses pendidikan Jokowi, seperti absennya dosen pembimbing yang bisa diverifikasi, ketidaksesuaian lokasi KKN, hingga dugaan percetakan dokumen palsu di kawasan Pramuka, Jakarta.
Marwan mengkritik sikap Jokowi yang tertutup terhadap permintaan verifikasi publik serta menilai Polri belum membuka akses penyelidikan secara forensik.
Desakan juga diarahkan ke Presiden Prabowo agar tak tinggal diam.
Marwan menilai janji Prabowo untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu harus dibuktikan dengan tindakan konkret, bukan hanya retorika politik.
“Pak Prabowo harus berani membuktikan bahwa negara ini tak lagi disandera politik balas jasa atau loyalitas buta. Ini bukan soal permusuhan, tapi soal membersihkan sejarah dari kepalsuan,” ujarnya.
Ia mendorong agar Kapolri diperintahkan membuka penyelidikan independen dengan tim investigasi lintas lembaga yang steril dari intervensi kekuasaan.
Menurut Marwan, jika skandal ini tidak ditangani serius, maka kepercayaan terhadap sistem hukum dan pendidikan nasional ikut runtuh.
Ia juga menyoroti kenaikan drastis gaji hakim MA yang ditetapkan Prabowo pada 12 Juni 2025.
Menurutnya, penghargaan pada lembaga yudikatif harus diikuti dengan integritas tinggi dalam menegakkan hukum tanpa manipulasi.
Marwan dikenal sebagai aktivis vokal sejak lama.
Lahir di Delitua, Sumatera Utara, pada 6 Juli 1955, ia aktif mengawal isu strategis sejak menjabat sebagai anggota DPR periode 2004–2009 hingga kini memimpin lembaga riset IRESS.
Ia pernah mengangkat isu pelanggaran HAM dalam kasus penembakan laskar FPI dan menilai Komnas HAM terlibat dalam manipulasi laporan.
Pada 2023, ia juga mengkritisi proyek investasi di Rempang yang dinilainya merugikan masyarakat adat demi kepentingan oligarki.
Bersama Petisi 100, ia konsisten mendorong reformasi sistem seleksi pejabat publik dan menuntut kejelasan soal dugaan ijazah palsu Jokowi.
“Skandal ini adalah ujian moral bagi bangsa. Apakah kita ingin bangsa ini berdiri di atas kebenaran, atau dibangun di atas kebohongan yang dilestarikan?” ujarnya.
Dukungan terhadap perjuangan Marwan datang dari berbagai elemen masyarakat sipil.
Mereka mendesak proses hukum dilakukan secara jujur, terbuka, dan tidak tunduk pada tekanan politik.
Menurut mereka, penuntasan kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat akuntabilitas pejabat publik dan menjadikan hukum sebagai panglima.
“Hukum bukan alat pelindung penguasa, tapi payung seluruh rakyat,” ujar salah seorang akademisi yang tergabung dalam Petisi 100.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

