
Repelita Mentawai - Pulau Sipora di Kepulauan Mentawai terancam kehilangan bentang alamnya akibat rencana eksploitasi hutan skala besar oleh perusahaan pemegang izin resmi.
Sejak tahun 2023, PT Sumber Permata Sipora telah mengantongi izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Konsesi tersebut mencakup lebih dari 20.000 hektare atau hampir setengah luas Pulau Sipora.
Kebijakan ini menuai penolakan dari masyarakat adat dan kelompok lingkungan yang khawatir akan dampak ekologis dan budaya yang ditimbulkan.
Lahan konsesi yang diberikan bertabrakan dengan enam wilayah adat yang telah diakui secara sah melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2017.
Enam wilayah itu mencakup Uma Saurenu’ di Desa Saurenu, Uma Usut Ngaik dan Uma Rokot di Desa Matobe, Uma Goiso Oinan di Desa Goiso Oinan, Uma Sakarebau Maileppet di Desa Betumonga, dan Uma Sibagah di Desa Mara.
Wilayah ini merupakan sumber kehidupan utama masyarakat, tempat mereka menggantungkan kebutuhan pangan, air, obat, dan ritual adat.
Pulau Sipora juga memiliki hutan tropis yang menjadi rumah bagi spesies endemik seperti monyet Mentawai dan trenggiling.
Selain itu, ada 18 daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyokong kebutuhan air bersih warga.
Jika pembukaan hutan terus berjalan, bukan hanya keanekaragaman hayati yang terancam, tetapi juga ketahanan pangan masyarakat lokal.
Hasil hutan seperti sagu, keladi, ikan, dan udang menjadi bagian penting dari pola hidup masyarakat yang bisa hilang selamanya.
Izin PBPH untuk PT SPS diterbitkan pada 28 Maret 2023 dan mencakup kawasan Hutan Produksi Terbatas serta Hutan Produksi.
Perusahaan kini sedang menyusun dokumen AMDAL sebagai tahap awal pelaksanaan proyek.
Namun, rencana ini dibanjiri penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil hingga pemerintah daerah.
Dalam rapat pembahasan AMDAL yang digelar di Padang, penolakan disuarakan oleh tujuh komunitas adat Sipora, Koalisi Sipil Sumbar, mahasiswa Mentawai, Bupati dan DPRD Kepulauan Mentawai, hingga lembaga lokal seperti YCMM.
Warga mempertanyakan mengapa wilayah adat yang telah diajukan sebagai hutan adat bisa masuk dalam peta konsesi perusahaan.
Penolakan ini mencerminkan ketegangan antara izin formal dan keadilan ekologis yang diperjuangkan masyarakat.
Mentawai selama ini dikenal sebagai surga wisata bahari seperti Raja Ampat.
Namun di balik pesonanya, krisis ekologis dan budaya tengah mengintai akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat adat.
Pemerintah pusat didesak untuk meninjau ulang izin ini dan memastikan keterlibatan masyarakat adat dalam setiap pengambilan keputusan.
Langkah itu diperlukan demi melindungi harmoni antara alam, budaya, dan generasi mendatang. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

