
Repelita Jakarta - Menteri Kebudayaan Fadli Zon memberikan klarifikasi atas pernyataannya yang menyebut peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanya sekadar rumor.
Pernyataan itu langsung menuai reaksi dari Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana.
Menurutnya, pandangan subjektif Fadli Zon tidak bisa menghapus kenyataan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan benar-benar terjadi dalam tragedi tersebut.
"Apa yang menurut Menteri Kebudayaan tidak ada, bukan berarti tak terjadi," ujar Bonnie, Rabu 18 Juni 2025.
Fadli sebelumnya mengklaim bahwa tidak ada bukti atas tuduhan pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
Ia merujuk pada Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dinilainya tidak mampu membuktikan adanya pemerkosaan.
Namun faktanya, laporan resmi TGPF menyebutkan bahwa kekerasan seksual benar-benar terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya selama kerusuhan berlangsung.
Laporan tersebut merinci 52 kasus pemerkosaan, 14 kasus pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 kasus penyerangan seksual, dan 9 kasus pelecehan seksual.
Bahkan disebutkan pula bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi saat kerusuhan, tetapi juga sebelum dan sesudah peristiwa 13–15 Mei 1998.
Bonnie menyayangkan sikap Fadli Zon yang malah menutup mata terhadap kenyataan pahit sejarah.
Sebagai Menteri Kebudayaan yang sedang menggagas proyek penulisan ulang sejarah nasional, menurutnya Fadli seharusnya tidak mengulang budaya penyangkalan terhadap kekerasan, apalagi terhadap perempuan Tionghoa dalam tragedi rasial tersebut.
"Kalau semangatnya menulis sejarah untuk mempersatukan bangsa, kenapa cara berpikirnya justru mempersoalkan istilah massal atau tidak," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa laporan TGPF telah mencatat dengan jelas jumlah korban kekerasan seksual, sehingga tidak seharusnya diperdebatkan lagi.
Menurutnya, sejarah bukan hanya soal kisah heroik dan inspiratif.
Pengalaman kelam seperti tragedi Mei 1998 juga penting dicatat sebagai pembelajaran bangsa.
"Tanpa terkecuali bagi penyelenggara negara saat ini dan di masa mendatang," tegasnya.
Bonnie memperingatkan bahwa penyangkalan hanya akan memperparah luka batin korban dan keluarganya.
Pernyataan bahwa peristiwa tersebut hanya rumor dinilainya menyakitkan bagi para penyintas.
"Penyangkalan semacam ini hanya menambah beban traumatik, bahkan bagi masyarakat yang ikut merasakan langsung dampak tragedi itu," katanya.
Kini, Kementerian Kebudayaan sedang menyusun penulisan ulang sejarah nasional yang ditargetkan rampung Agustus 2025.
Namun dalam draf konsep yang beredar, sejumlah pelanggaran HAM berat seperti pemerkosaan massal Mei 1998, penembakan misterius, penghilangan aktivis, hingga tragedi Trisakti dan Semanggi tidak dicantumkan.
Bonnie pun meminta Kementerian menghentikan proyek tersebut jika hanya ditujukan untuk kepentingan politik tertentu.
Menurutnya, sejarah tidak boleh ditulis berdasarkan kepentingan kekuasaan.
"Kalau pendekatannya selektif dan politis, lebih baik dihentikan saja," tutupnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

