Repelita Jakarta - Mantan anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha meminta Presiden Prabowo Subianto untuk tidak mengulang pendekatan yang dilakukan di Pulau Rempang dalam menangani konflik tambang nikel di Raja Ampat.
Ia menilai langkah mengandalkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam kasus ini tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan berpotensi memperburuk situasi.
"Presiden Prabowo semestinya tidak mengirim, apalagi mengandalkan Menteri Bahlil untuk mengatasi masalah Raja Ampat," ujar Abdul Rachman dalam pernyataan tertulis, Senin, 9 Juni 2025.
Abdul Rachman mengingatkan kembali kegagalan penanganan proyek Rempang Eco City, ketika masyarakat setempat tetap melakukan perlawanan meski telah didatangi Bahlil.
Menurutnya, janji manis yang disampaikan Bahlil kepada publik waktu itu hanya omong kosong belaka.
"Namun terbukti, perkataan Bahlil hanya bualan belaka," ujarnya.
Ia menyebut situasi yang kini terjadi di Raja Ampat tak jauh berbeda.
Masyarakat menolak aktivitas tambang nikel yang dinilai merusak lingkungan.
Namun, menurutnya, lagi-lagi Bahlil datang dan mencoba meredam konflik dengan narasi manipulatif.
"Dari empat tambang nikel, oleh Bahlil, dibikin gaib menjadi satu saja," ungkapnya.
Ia juga menuding kehadiran massa siluman sebagai upaya membangun narasi palsu bahwa tidak ada konflik di Raja Ampat.
Abdul Rachman menyebut tindakan Bahlil sebagai bentuk penyesatan terhadap masyarakat maupun Presiden.
"Portofolio Bahlil dalam aksi tipu-tipu makin banyak," ujarnya.
Ia bahkan mengungkit kontroversi lama soal gelar akademik Bahlil yang sempat ramai dipertanyakan.
Karena itu, ia menyarankan agar Presiden Prabowo lebih percaya pada Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus tambang di Raja Ampat.
Menurutnya, lembaga tersebut telah menyatakan komitmennya untuk menindak tegas praktik pertambangan ilegal.
Abdul Rachman percaya pendekatan hukum yang dilakukan Kejaksaan akan lebih berdampak dalam menjaga kelestarian alam dan menjerakan pelaku kejahatan lingkungan.
Ia meminta agar Kejaksaan mulai menyelidiki dari hulu, termasuk kemungkinan penyimpangan dalam penerbitan izin tambang.
"Yang paling ekstrem, jangan-jangan mirip ijazah: izinnya pun palsu," katanya.
Ia juga mempertanyakan apakah perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat termasuk dalam daftar 47 perusahaan yang sebelumnya dilaporkan WALHI ke Kejaksaan Agung.
Menurutnya, ada indikasi kuat bahwa puluhan perusahaan tersebut telah melakukan perusakan lingkungan dan korupsi sumber daya.
Abdul Rachman mendesak agar investigasi Kejagung kali ini dilakukan secara menyeluruh dan tidak setengah hati.
Ia meyakini publik memiliki alasan kuat untuk curiga bahwa ada rekayasa kebijakan dan aturan hukum demi menguntungkan pihak tertentu.
"Ini lazim diistilahkan sebagai state capture corruption," tegasnya.
Ia menyebut masyarakat sudah jenuh dengan janji dan retorika politik tanpa aksi nyata.
Karena itu, ia menantang pemerintah untuk benar-benar menunjukkan sikap tegas melalui tindakan hukum.
"Pemerintahan Prabowo tidak punya pilihan kecuali walk the talk, talk the walk," pungkasnya.
Ia menyarankan agar Kejaksaan juga diperintahkan mengusut kasus serupa di wilayah lain, termasuk Sulawesi Tengah, Maluku, dan Bangka, tempat yang selama ini menjadi sarang mafia tambang. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok