Repelita Jakarta - Perbedaan pandangan muncul antara Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri dalam menangani dugaan pelanggaran hukum terkait kegiatan tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Empat perusahaan tambang telah kehilangan izin operasional mereka setelah pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa pencabutan izin dilakukan karena keempat perusahaan tersebut bermasalah secara hukum dan lingkungan.
Ia menyebut bahwa dokumen legalitas tidak sesuai dengan ketentuan kebijakan nasional, dan tidak satu pun dari perusahaan itu mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2025.
“Sebagian dari izin-izin ini dikeluarkan pada 2004 hingga 2006 oleh pemerintah daerah sesuai Undang-Undang Minerba lama. Tapi kami tidak ingin menyalahkan siapa pun, ini adalah tanggung jawab bersama untuk kami bereskan,” ujar Bahlil.
Dari sisi kepolisian, Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri sedang menyelidiki dugaan kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan oleh empat perusahaan tersebut.
Direktur Dittipidter Bareskrim, Brigadir Jenderal Nunung Syaifuddin, menyampaikan bahwa pihaknya kini fokus menyelidiki kerusakan yang timbul di wilayah Raja Ampat.
"Kami masih dalam penyelidikan," kata Nunung di Gedung Bareskrim pada Rabu, 11 Juni 2025.
Ia menjelaskan bahwa proses penyelidikan dipicu oleh temuan lapangan dari tim kepolisian terkait dampak lingkungan di area tambang.
"Ya, (berawal dari) temuan saja," ungkapnya singkat.
Nunung menegaskan bahwa pihak kepolisian memiliki dasar hukum untuk memeriksa dugaan pelanggaran lingkungan yang bersumber dari kegiatan pertambangan ilegal.
Sementara itu, Kejaksaan Agung belum melakukan langkah investigatif terkait isu tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyatakan bahwa pihaknya memerlukan laporan resmi dari masyarakat sebelum memulai penyelidikan.
“Kalau ada laporan pengaduannya,” ujar Harli saat ditemui di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Selasa, 10 Juni 2025.
Ia menambahkan bahwa riuhnya pemberitaan di media tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menindaklanjuti dugaan suap atau pelanggaran IUP.
“Ya, ramainya jangan di media,” katanya.
Menurut Harli, aparat penegak hukum hanya bisa bergerak bila ada pengaduan resmi yang masuk sebagai bukti awal.
“Supaya ada bahan, ada dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan pengecekan, sebenarnya apa yang terjadi di sana,” jelasnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok