
Repelita, Jakarta - Polemik dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo belum mereda.
Meski Bareskrim Polri telah menghentikan penyelidikan atas laporan yang diajukan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), kontroversi hukum tetap mengemuka.
Mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Oegroseno menanggapi bahwa sejak awal ada kejanggalan dalam penerapan hukum acara pidana terkait perkara ini.
Ia mengungkapkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah berlaku sejak tahun 1980-an.
Namun, pada 2018 muncul surat edaran Kapolri Nomor 7 tahun 2018 yang membuatnya terkejut.
Surat tersebut memuat ketentuan soal penghentian penyelidikan, sesuatu yang menurutnya tidak dikenal dalam KUHAP.
"Di surat edaran itu hanya disebut penyelidik. Tidak satu pun kata penyidik tercantum," ucap Oegroseno dalam perbincangan di kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP, Rabu, 28 Mei 2025.
Ia mempertanyakan kepastian hukum dari penghentian penyelidikan terhadap dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi.
Menurut dia, langkah tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut, lulusan Akademi Kepolisian tahun 1978 ini menjelaskan bahwa KUHAP mengharuskan penghentian penyelidikan dilakukan melalui putusan pengadilan.
"Kalau menurut KUHAP, dasar hukumnya memang tidak ada," lanjutnya.
Ia menyebut bisa saja pelapor mengajukan gugatan ke Wasidik atau Irwasum Mabes Polri.
Jika diperlukan, TPUA juga bisa menghadirkan saksi ahli tambahan untuk memperkuat laporan mereka.
"Polisi harus benar-benar objektif dalam menangani laporan seperti ini," tegasnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

