Repelita Jakarta - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diperuntukkan bagi siswa sekolah kembali menjadi sorotan setelah menu yang disediakan selama Ramadan mengalami perubahan. Menu makanan yang sebelumnya lebih beragam kini digantikan dengan roti dan produk sereal instan seperti Energen.
Perubahan ini menimbulkan kritik karena dianggap semakin menjauh dari prinsip gizi seimbang. Dokter sekaligus ahli gizi masyarakat, dr. Tan Shot Yen, menilai bahwa meskipun makanan tersebut mungkin mencukupi kebutuhan energi, namun kandungannya tidak dapat dikategorikan sebagai makanan sehat.
"Soal cukup atau tidak, yang pasti ini bukan gizi seimbang yang sehat karena didominasi produk ultraproses," ujar dr. Tan.
Menurutnya, produk ultraproses seperti roti dan sereal instan tidak dapat disebut sebagai pangan berkualitas jika suatu negara masih memiliki banyak sumber pangan utuh yang lebih sehat.
"Produk ultraproses tidak pernah disebut pangan berkualitas jika di negara tersebut masih banyak pangan utuh yang lebih sehat," katanya.
dr. Tan juga menyinggung menu MBG yang ideal bagi peserta didik yang berpuasa. Menurutnya, jika hanya untuk berbuka puasa, kurma dan air sudah cukup dan jauh lebih baik dibandingkan dengan makanan atau minuman instan.
"Kan sunnah Nabi hanya kurma dan air. Jika makanan seperti biasa, dan dibiarkan lebih dari dua jam dalam suhu 5-60°C, risiko pertumbuhan bakteri meningkat," jelasnya.
Selain kandungan gizi, ia juga menyoroti masalah penyimpanan makanan dalam program MBG yang dinilai masih jauh dari standar keamanan pangan yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
dr. Tan mengungkapkan bahwa makanan dalam program MBG dimasak sejak pukul 04.30 pagi, tetapi baru dikirim ke sekolah dalam beberapa kloter, dengan kloter terakhir bisa mencapai pukul 12.00 siang.
Padahal, standar WHO menegaskan bahwa makanan harus disimpan pada suhu aman, yaitu di bawah 5°C atau di atas 60°C, agar tidak menjadi tempat berkembangnya mikroba berbahaya. Namun, dalam praktiknya, makanan MBG dibiarkan dalam suhu kritis selama lebih dari dua jam, sehingga berpotensi mengalami kontaminasi.
"Sekarang bisa dipahami, kenapa ada keluhan makanan basi atau rasanya aneh, sebagaimana dilontarkan penerima manfaat," ujarnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok