Repelita Jakarta - Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah diminta untuk tidak bertindak sebagai juru klarifikasi atau pembela bagi Garibaldi Thohir dan Erick Thohir terkait dugaan kasus korupsi Pertamax RON 92 oplosan senilai Rp 193,7 triliun. Kejaksaan diharapkan fokus pada penyelidikan dan penyidikan skandal ini hingga tuntas tanpa tebang pilih.
Kisman Latumakulita, wartawan senior FNN, menilai Kejaksaan Agung harus memahami tugasnya sebagai perpanjangan tangan Presiden Prabowo Subianto, yang dalam janji kampanyenya menegaskan akan mengejar para koruptor tanpa kompromi, bahkan jika harus hingga ke Antartika. Janji tersebut, menurut Kisman, harus dijalankan secara konsisten tanpa pandang bulu.
Dugaan rekayasa dalam kasus korupsi Pertamax RON 92 ini mencuat setelah muncul indikasi pola serupa dengan kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Dalam kasus tersebut, tersangka hanya berasal dari kalangan pelaku kecil, sementara aktor besar diduga dibiarkan lolos dari jerat hukum.
Institusi Kejaksaan juga diduga bermain-main dalam kasus korupsi timah. Bahkan muncul dugaan adanya negosiasi antara Kejaksaan dengan para tersangka terkait ancaman hukuman yang akan dijatuhkan. Penanganan kasus ini dinilai tidak serius dan hanya sekadar formalitas.
Hal ini terbukti dari tuntutan jaksa terhadap Harvey Moeis yang hanya 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar. Tuntutan ini dianggap tidak sebanding dengan nilai korupsi yang mencapai Rp 300 triliun. Akibatnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara kepada Harvey Moeis.
Menurut Kisman Latumakulita, kasus Pertamax oplosan yang merugikan negara hampir Rp 200 triliun ini seharusnya masuk dalam kategori pidana subversif. Jika Kejaksaan tidak bertindak tegas dan berani menindak semua pihak yang terlibat, maka kredibilitas lembaga penegak hukum ini akan semakin dipertanyakan. Masyarakat menunggu keseriusan Kejaksaan dalam mengungkap skandal ini tanpa ada upaya perlindungan terhadap aktor besar di baliknya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok