Repelita Jakarta - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, kembali menyoroti polemik Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Ia mempertanyakan apakah permintaan maaf dari intelektual, influencer, dan aktivis yang dianggap menyebarkan informasi provokatif dan tidak benar tentang RUU TNI adalah sesuatu yang berlebihan.
"Apakah berlebihan jika kita meminta yang menyebarkan provokasi dan narasi bohong soal RUU TNI agar meminta maaf?" ujar Nasbi melalui akun X @NasbiHasan.
Ia juga mempertanyakan bagaimana seharusnya menyebut pihak-pihak yang tidak mau meminta maaf atas narasi yang dianggap menyesatkan.
"Kalau mereka ga minta maaf, sebaiknya kita sebut sebagai apa?" lanjutnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa revisi UU TNI hanya membahas tiga pasal, yakni Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53. Ia menekankan bahwa pembahasan tersebut tidak dilakukan secara diam-diam atau terburu-buru.
"Revisi UU TNI hanya membahas tiga pasal. Tidak ada pasal lain seperti yang beredar di media sosial. Jika ada yang sama, isinya sangat berbeda," kata Dasco dalam konferensi pers di Gedung DPR RI, Jakarta.
Dasco membantah anggapan bahwa pembahasan RUU TNI dilakukan secara terburu-buru. Menurutnya, proses pembahasan telah berlangsung sejak beberapa bulan lalu.
"Tidak ada proses ngebut-mengebut dalam revisi UU TNI," tegasnya.
Ia juga menepis klaim bahwa rapat dilakukan secara diam-diam di hotel. Dasco menjelaskan bahwa rapat tersebut merupakan agenda terbuka.
"Tidak ada rapat diam-diam. Rapat di hotel itu diagendakan terbuka dan bisa dilihat di agenda resmi," ujarnya.
Pernyataan Dasco ini menanggapi berbagai spekulasi dan kritik yang beredar terkait proses revisi UU TNI, termasuk dugaan pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan terburu-buru. DPR dan pemerintah terus berupaya memastikan bahwa proses revisi berjalan transparan dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.(*).
Editor: 91224 R-ID Elok