
Repelita Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengingatkan bahaya oligarki dan totalitarianisme baru yang tengah mengancam demokrasi di Indonesia.
Menurut Jimly Asshiddiqie, praktik politik yang dikendalikan segelintir elite ekonomi dan politik bisa menggerus kebebasan masyarakat.
Jimly Asshiddiqie menjelaskan, "Sekarang kita melihat fenomena baru di mana pengusaha besar memiliki media, mendukung ormas, bahkan mendirikan partai politik. Ini berpotensi menciptakan totalitarianisme baru."
Ia menjelaskan meskipun Indonesia secara konstitusional adalah negara republik, namun dalam praktiknya masih banyak budaya politik yang menyerupai sistem kerajaan.
"Dulu di BPUPKI sempat ada perdebatan apakah kita akan berbentuk republik atau kerajaan. Kalau dulu dilakukan referendum besar kemungkinan kerajaan yang menang," ungkapnya.
Jimly menilai setelah 77 tahun merdeka, budaya politik feodal tetap bertahan dan semakin diperkuat oleh sistem dinasti politik dalam partai dan organisasi masyarakat.
Jimly Asshiddiqie juga menyoroti bagaimana gabungan antara budaya feodal dan neoliberalisme menciptakan ketimpangan yang makin lebar antara penguasa dan rakyat.
Menurutnya, oligarki yang mengendalikan kebijakan publik bisa merusak prinsip demokrasi.
"Kalau kita lihat siapa yang mengontrol kebijakan? Bukan hanya negara, tapi juga pengusaha yang punya kepentingan bisnis. Ini yang saya sebut sebagai totalitarianisme baru," jelasnya.
Fenomena ini mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat, khususnya sejak era Donald Trump, di mana pengusaha mulai memainkan peran dominan dalam politik.
Jimly Asshiddiqie juga mengungkapkan konsep "Inverted Totalitarianism" atau totalitarianisme terbalik, di mana bukan negara yang sepenuhnya berkuasa, melainkan sektor swasta yang mengendalikan kebijakan publik.
"Dulu totalitarianisme itu seperti Hitler di mana negara yang mengontrol semua. Sekarang yang terjadi justru pengusaha swasta menguasai negara. Ini berbahaya," tegasnya.
Ia juga memperkenalkan konsep "Kuadru Politika Baru" yang menggambarkan konsentrasi kekuasaan pada empat elemen utama: negara, masyarakat sipil, korporasi, dan media.
Jika empat elemen ini dikendalikan oleh segelintir elite, maka demokrasi hanya akan menjadi formalitas belaka.
"Kalau ini dibiarkan, kita hanya akan punya demokrasi dalam bentuk tapi tidak dalam substansi. Tidak ada lagi kebebasan politik yang sejati," imbuhnya.
Jimly Asshiddiqie menutup pernyataannya dengan mengutip adagium terkenal "Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely."
Menurutnya, penyalahgunaan kekuasaan bukan hanya soal uang tetapi juga bagaimana elite memanfaatkan budaya feodal untuk terus mempertahankan dominasi mereka.
"Kita harus waspada. Demokrasi tidak boleh dibiarkan dikuasai oleh segelintir orang. Harus ada keseimbangan kekuasaan agar rakyat tetap memiliki suara yang nyata dalam pemerintahan," pungkasnya. *
Editor: 91224 R-ID Elok

