Repelita Jakarta - Pegiat media sosial, Denny Siregar, menyentil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait polemik pagar laut di Tangerang, Banten. Denny mempertanyakan sikap lembaga anti rasuah tersebut yang dinilainya belum bersuara meskipun isu pagar laut ramai dibicarakan.
“Masalah pagar laut ini kok nggak ada suara dari @KPK_RI ya?” ujar Denny melalui unggahannya di platform X, Jumat. Ia berspekulasi bahwa KPK mungkin masih sibuk menangani kasus buronan terkait suap. “Apa masih sangat sibuk ngurusin Harun Masiku?” tambahnya.
Sementara itu, pihak Agung Sedayu Group melalui kuasa hukumnya, Muannas Alaidid, menyampaikan bahwa perusahaan mereka memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di wilayah tertentu. “Dari 30 kilometer pagar laut itu, kepemilikan SHGB anak perusahaan PIK PANI dan PIK Non PANI hanya ada di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji saja. Di tempat lain dipastikan tidak ada,” kata Muannas.
Muannas juga menjelaskan bahwa pagar laut tersebut melewati enam kecamatan di pesisir Kabupaten Tangerang. Namun, SHGB hanya dimiliki di satu kecamatan, yakni Desa Kohod. Ia menegaskan bahwa tidak semua area sepanjang 30 kilometer tersebut merupakan milik mereka. “Jadi, bukan sepanjang 30 kilometer itu ada lahan SHGB milik kami,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Muannas menyebut bahwa pagar laut tersebut sudah ada sejak 2014, berdasarkan pengakuan mantan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar. “Beliau (Zaki) melakukan kunjungan di tahun 2014 dengan menyewa tiga boat bersama sejumlah awak media, memantau langsung kondisi pesisir pantura Kabupaten Tangerang. Sudah ada pagar-pagar laut itu sebelum PIK Dua ada, bahkan sebelum Pak Jokowi menjabat presiden,” jelas Muannas.
Muannas juga menyatakan bahwa bidang-bidang yang memiliki SHGB dulunya merupakan daratan yang kemudian terdampak abrasi hingga menjadi lautan. Menurutnya, area tersebut dulunya berupa sawah dan tambak yang memiliki girik. Pemilik sawah dan tambak memasang pagar-pagar bambu untuk menyelamatkan harta benda mereka. “Dan itu yang kami beli, daripada musnah dari SHM menjadi SHGB karena ada alas hak dan lahannya masih bisa teridentifikasi. BPN menjamin bisa diterbitkan sertifikat HGB, makanya kami beli,” ungkapnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok