Repelita Jakarta - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesejahteraan Keluarga Alissa Wahid memberikan respons atas pernyataan Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla yang menyebutkan bahwa dalam pandangan fiqih tertentu, suap untuk sesuatu yang baik demi mengambil hak yang dizalimi dapat diperbolehkan.
Ulil sebelumnya mengungkapkan pandangan tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait pembahasan RUU Pertambangan dan Mineral (Minerba) di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Menanggapi hal itu, Alissa mengakui bahwa pandangan fiqih terkait hal tersebut memang ada. “Kalau secara fiqih memang ada ya, memang ada pandangan ulama, bahwa kalau ini memang terjadi kezaliman, lalu kita perlu mengambil itu, dan demi mendapatkan itu kita perlu menyelesaikannya dengan membayar kepada si yang memegang itu, itu fiqihnya ada, itu diperbolehkan,” ujar Alissa di Aula Griya Gus Dur, Jakarta Pusat.
Namun, Alissa menegaskan bahwa penerapan pandangan fiqih tersebut tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa memperhatikan konteks saat ini. “Masalahnya, konteksnya sekarang sesuai nggak? Kalau nggak sesuai, ya fiqih itu nggak bisa dilakukan. Fiqih itu kan pandangan hukum, dia bukan ketauhidan, dan kita nggak boleh berlindung di balik itu,” tegasnya.
Ia juga menyoroti situasi di Indonesia yang menurutnya tidak memungkinkan pembenaran terhadap praktik suap, bahkan jika didasarkan pada pandangan fiqih tertentu. “Konteksnya saat ini di Indonesia kan memang tidak memungkinkan. Tidak ada ruang untuk memberikan suap itu, nggak ada kok konteksnya, jadi fiqihnya ya nggak berlaku lah. Di Indonesia nggak berlaku,” tambahnya.
Alissa menekankan pentingnya memahami konteks lokal dalam menerapkan pandangan fiqih, agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
Sebelumnya, dalam RDPU tersebut, Ketua Komisi VII DPR Saleh Daulay menyoroti pemberitaan soal dugaan pemberian jatah kelola tambang untuk ormas semata untuk membungkam gelombang kritik publik terkait RUU Minerba. Saleh pun bertanya apakah PBNU sepakat jika hal itu bisa disebut sebagai sebuah sogokan.
“Dalam fiqih ada ketentuan, jadi menyogok itu kalau untuk meraih hak yang hak itu menurut sebagian ulama dibolehkan. Jadi yang dilarang adalah menyogok sesuatu yang batil,” kata Ulil. “Ada kebijakan yang batil kita sogok orang supaya mendukung kebijakan kita. Tapi kalau kebijakan ini sah, lalu kita mendorong masyarakat untuk mendukung ini, ya itu bukan sogokan. Kalau pun sogokan itu, sogokan yang hasanah itu,” imbuhnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok